Memperkuat Toleransi Melalui Kampanye Sosial
Community Discussion
![](/images/region-pr/logo_atmago_square.png)
Yayasan Bani Kiyai Haji Abdurahman Wahid (YBAW) menggelar Workhsop II Penguatan Narasi dan Kampanye Keberagaman. Kegiatan yang digelar di Hotel Oria di jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat ini mengundang semua Lead Partner yang terlibat dalam program USAID MADANI.
Selama tiga hari (13-15/6), Lead Partner (LP) dengan keberagaman isu tematik akan belajar meningkatkan kapasitas sumber daya dan kelembagaan mengelola kampanye isu toleransi untuk mendorong perubahan sosial.
Di hari pertama, Mohammad Pandu, Sarjoko S dan Adin Fahima bergantian memandu jalannya fasilitasi, seperti refleksi perjalanan peserta dan permainan untuk melakukan identifikasi dasar dalam melihat realitas. Dari permainan ini peserta mendapat penyegaran bagaimana cara pandang bekerja.
NARASI VERSUS NARASI
“Perubahan narasi itu perubahan cara pandang, atas aspek yang melingkupi satu isu,” ucap Heru Prasetia. Wacana narasi menjadi prolog sebelum merancang kampanye dan strategi yang akan ditempuh. Suraji, Program Manager YBAW membuka wacana narasi yang selalu hadir sebagai lanskap pertarungan tiap era. Ia menyontohkan jaman kolonial, narasi melawan di titik itu adalah merdeka atau mati. Parafrasa yang menggelorakan nasionalisme.
“Pada 2016 Gusdurian melalukan maping media sosial untuk memetakan narasi yang berkembang. Hasilnya mencengangkan karena isi dunia ini hanya dua, yakni Islam dan Non Islam,” ungkapnya. Hal itu menunjukkan pertarungan narasi di ruang publik (dunia maya yang bisa merembes ke dunia nyata) hanya menghasilkan toleran dan intoleran.
Narasi ini harus dilawan atau diimbangi dengan mengambil peran membuat narasi tandingan. Seperti apa narasinya, tentu sangat kompleks di setiap daerah.
MEMAHAMI KAMPANYE
“Kampanye dapat dibagi dua. Pertama, kampanye politik yang berlangsung menjelang pemilihan. Kedua, kampanye perubahan sosial,” ujar Heru Prasetia, Koordinator Kampanye & Media Jaringan GUSDURian.
“Nah, saat ini kita sedang membicarakan kampanye jenis kedua yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan prilaku, lanjutnya.
Heru menilai kalau perubahan perilaku bukan karena minimnya informasi, ia meberikan contoh mengenai iklan rokok. Visualisasi sudah menyeramkan. Tetapi, mengapa tidak efektif mengubah perilaku. Jika memakai penedekatan Jonathan Haidt, Psikolog Sosial berkebangsaan Amerika Serikat. Ia merumuskan tujuh fondasi moral, yakni kepedulian, keadilan, loyalitas, otoritas, kesucian, dan kebebasan.
Dari strategi kampanye yang dilakukan biasanya hanya mencakup fondasi kepedulian tanpa mempertimbangkan fondasi yang lain sehingga kampanye seringkali tidak efektif.
Savic Ali, Savic Ali, Direktur NU Online menggaris bawahi adanya keterbatasan untuk menjangkau semuanya, karena itu perlu mendefinisikan audiens. Lembaga perlu membuat daftar isu sebelum melakukan kampanye sosial.
“Jika tidak ada perencanaan, maka konten medsos lembaga seperti tugas humas protokoler yang hanya memosting kegiatan kelembagaan yang mungkin, atau sesungguhnya, tidak relevan dengan kebutuhan publik,” bebernya.
Salah satu strategi yang bisa ditempuh, yakni meramaikan isu (speed). Perlu memberikan respons cepat atas isu yang berkembang. Dari isu itu berikan pendalaman. Jadi, tidak sekadar meramaikan supaya bisa mencapai tujuan (reach). Konten yang memberikan perpektif alternatif maka akan dianggap penting (mattere). Jika sudah demikian, publik akan terdorong untuk menyimpan (save) hingga membagikannya (sharing).
Selanjutnya, di akhir sesi, semua LP akan menjawab tantangan merancang kampanye perubahan sosial berdasarkan isu tematik masing-masing dengan membuat konten di media sosial lembaga. “Sarjoko S dan Mohammad Pandu, bergantian memaparkan pemetaan tugas dan timline pelaksanaan kampanye.
Suraji kembali menekankan mengenai isu tematik tiap LP yang berbeda, isu keberagaman merupakan hal urgen yang perlu didorong. “Dibutuhkan kreativitas mengelola isu keberagaman masuk ke dalam program tematik LP agar akselerasi program dapat berjalan beriringan,” urainya.
Selama tiga hari (13-15/6), Lead Partner (LP) dengan keberagaman isu tematik akan belajar meningkatkan kapasitas sumber daya dan kelembagaan mengelola kampanye isu toleransi untuk mendorong perubahan sosial.
Di hari pertama, Mohammad Pandu, Sarjoko S dan Adin Fahima bergantian memandu jalannya fasilitasi, seperti refleksi perjalanan peserta dan permainan untuk melakukan identifikasi dasar dalam melihat realitas. Dari permainan ini peserta mendapat penyegaran bagaimana cara pandang bekerja.
NARASI VERSUS NARASI
“Perubahan narasi itu perubahan cara pandang, atas aspek yang melingkupi satu isu,” ucap Heru Prasetia. Wacana narasi menjadi prolog sebelum merancang kampanye dan strategi yang akan ditempuh. Suraji, Program Manager YBAW membuka wacana narasi yang selalu hadir sebagai lanskap pertarungan tiap era. Ia menyontohkan jaman kolonial, narasi melawan di titik itu adalah merdeka atau mati. Parafrasa yang menggelorakan nasionalisme.
“Pada 2016 Gusdurian melalukan maping media sosial untuk memetakan narasi yang berkembang. Hasilnya mencengangkan karena isi dunia ini hanya dua, yakni Islam dan Non Islam,” ungkapnya. Hal itu menunjukkan pertarungan narasi di ruang publik (dunia maya yang bisa merembes ke dunia nyata) hanya menghasilkan toleran dan intoleran.
Narasi ini harus dilawan atau diimbangi dengan mengambil peran membuat narasi tandingan. Seperti apa narasinya, tentu sangat kompleks di setiap daerah.
MEMAHAMI KAMPANYE
“Kampanye dapat dibagi dua. Pertama, kampanye politik yang berlangsung menjelang pemilihan. Kedua, kampanye perubahan sosial,” ujar Heru Prasetia, Koordinator Kampanye & Media Jaringan GUSDURian.
“Nah, saat ini kita sedang membicarakan kampanye jenis kedua yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan prilaku, lanjutnya.
Heru menilai kalau perubahan perilaku bukan karena minimnya informasi, ia meberikan contoh mengenai iklan rokok. Visualisasi sudah menyeramkan. Tetapi, mengapa tidak efektif mengubah perilaku. Jika memakai penedekatan Jonathan Haidt, Psikolog Sosial berkebangsaan Amerika Serikat. Ia merumuskan tujuh fondasi moral, yakni kepedulian, keadilan, loyalitas, otoritas, kesucian, dan kebebasan.
Dari strategi kampanye yang dilakukan biasanya hanya mencakup fondasi kepedulian tanpa mempertimbangkan fondasi yang lain sehingga kampanye seringkali tidak efektif.
Savic Ali, Savic Ali, Direktur NU Online menggaris bawahi adanya keterbatasan untuk menjangkau semuanya, karena itu perlu mendefinisikan audiens. Lembaga perlu membuat daftar isu sebelum melakukan kampanye sosial.
“Jika tidak ada perencanaan, maka konten medsos lembaga seperti tugas humas protokoler yang hanya memosting kegiatan kelembagaan yang mungkin, atau sesungguhnya, tidak relevan dengan kebutuhan publik,” bebernya.
Salah satu strategi yang bisa ditempuh, yakni meramaikan isu (speed). Perlu memberikan respons cepat atas isu yang berkembang. Dari isu itu berikan pendalaman. Jadi, tidak sekadar meramaikan supaya bisa mencapai tujuan (reach). Konten yang memberikan perpektif alternatif maka akan dianggap penting (mattere). Jika sudah demikian, publik akan terdorong untuk menyimpan (save) hingga membagikannya (sharing).
Selanjutnya, di akhir sesi, semua LP akan menjawab tantangan merancang kampanye perubahan sosial berdasarkan isu tematik masing-masing dengan membuat konten di media sosial lembaga. “Sarjoko S dan Mohammad Pandu, bergantian memaparkan pemetaan tugas dan timline pelaksanaan kampanye.
Suraji kembali menekankan mengenai isu tematik tiap LP yang berbeda, isu keberagaman merupakan hal urgen yang perlu didorong. “Dibutuhkan kreativitas mengelola isu keberagaman masuk ke dalam program tematik LP agar akselerasi program dapat berjalan beriringan,” urainya.