URGENSI MAHASISWA SEBAGAI AGENT OF CHANGE DALAM PENCEGAHAN KEKERASAN DI KAMPUS
Community Discussion 
Kampus atau perguruan tinggi pada umumnya akan dikenali sebagai lingkungan yang terdiri dari orang-orang yang berpendidikan. Pendidikan selalu dilekatkan dengan konsep “moral”, sehingga ada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa warga kampus (civitas akademika) pasti bermoral atau akan memegang teguh prinsip moral karena mereka “berpendidikan”.
Asumsi ”baik” yg dilekatkan terhadap perguruan tinggi tersebut menjadi dipertanyakan ketika beberapa hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian, baik dari kementerian pendidikan, perguruan tinggi, maupun dari lembaga survey lainnya justru mengungkapkan fakta sebaliknya yakni bahwa perguruan tinggi justru menjadi salah satu tempat yang tingkat kejadian kekerasan seksualnya tinggi. Data dari Komnas Perempuan (2015-2020) menunjukkan bahwa sebanyak 27 % kekerasan seksual terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Hasil penelitian dari Ardi & Muis (2014) menyajikan data 40% dari 304 mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri pernah mengalami kekerasan seksual. Berikutnya adalah data survey Tirto.id (2019) menyajikan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota yang mengungkapkan bahwa kekerasan terjadi di lingkungan kampus, tempat magang, rumah dosen, daring, dan luar kampus. Yang menjadi korban adalah mahasiswa sebanyak 172, dosen 1, dan staf 1. Sebanyak 89% korban adalah perempuan, 4% laki-laki, dan 8% tidak mau menyebutkan. Berikutnya adalah hasil survei dari Ditjen Diktiristek (2020) yang mengungkap sebanyak 77% dosen menyatakan bahwa “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus”, dan sebanyak 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahui. Selanjutnya dari YLBHI Bali (2021) menyatakan bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual perempuan terjadi di lingkungan kampus.
Semua data-data yang tersebut di atas semakin menegaskan bahwa sebagian besar perguruan tinggi kita sedang tidak baik-baik saja, dan oleh sebab itu maka diperlukan langkah-langkah yang progresif untuk menyikapinya. Diantara langkah progresif yang harus dilakukan oleh semua perguruan tinggi adalah dengan mendukung diberlakukannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 atau yang biasa dikenali dengan sebutan Permen PPKS. Selain itu, perguruan tinggi juga harus melakukan langkah progresif yang inovatif untuk memudahkan realisasi atau implementasi Permen PPKS tersebut. Misalnya dengan menjadikan mahasiswa sebagai agent of change dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bentuk agent of change ditingkat mahasiswa bisa berupa apa saja sesuai dengan kearifan lokal masing-masing perguruan tinggi.
Contoh kearifan lokal mahasiswa sebagai agent of change dalam hal pencegahan kekerasan seksual di kampus adalah apa yang dilakukan oleh PSGA UNIPAR Jember, yaitu dengan melakukan pemilihan Duta Anti Kekerasan. Diantara tujuan dari dilakukannya pemilihan tersebut adalah menjadikan mahasiswa sebagai konselor sebaya, agar mahasiswa faham hak-haknya dan berani berbicara jika menjadi korban atau jika mengetahui terjadi kekerasan seksual. Diantara tugas Duta Anti Kekerasan adalah mengedukasi sesama mahasiswa dan mengkampanyekan tentang bagaimana kampus yang aman dan ramah bagi semua warga kampus, termasuk mahasiswa.
Setiap perguruan tinggi pasti punya kearifan lokalnya sendiri, selama memiliki tujuan yang baik misalnya untuk menciptakan kampus yang ramah dan aman bagi semua civitas akademika, maka yang harusnya dilakukan sesama perguruan tinggi adalah saling memberikan dukungan agar semua perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Jember dapat menjadi tempat yang ramah dan aman bagi semuanya. Ramah dan aman bagi mahasiswa sebagai generasi bangsa, bagi dosen, bagi tenaga kependidikan, dan bagi semua warga yang ada di kampus. #salaminklusi #unipar #jember
https://www.atmago.com/berita-warga/urgensi-mahasiswa-sebagai-agent-of-change-dalam-pencegahan-kekerasan-di-kampus_b4a2e6dc-c5ad-47be-bd3d-f132fe1f183c
Asumsi ”baik” yg dilekatkan terhadap perguruan tinggi tersebut menjadi dipertanyakan ketika beberapa hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian, baik dari kementerian pendidikan, perguruan tinggi, maupun dari lembaga survey lainnya justru mengungkapkan fakta sebaliknya yakni bahwa perguruan tinggi justru menjadi salah satu tempat yang tingkat kejadian kekerasan seksualnya tinggi. Data dari Komnas Perempuan (2015-2020) menunjukkan bahwa sebanyak 27 % kekerasan seksual terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Hasil penelitian dari Ardi & Muis (2014) menyajikan data 40% dari 304 mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri pernah mengalami kekerasan seksual. Berikutnya adalah data survey Tirto.id (2019) menyajikan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota yang mengungkapkan bahwa kekerasan terjadi di lingkungan kampus, tempat magang, rumah dosen, daring, dan luar kampus. Yang menjadi korban adalah mahasiswa sebanyak 172, dosen 1, dan staf 1. Sebanyak 89% korban adalah perempuan, 4% laki-laki, dan 8% tidak mau menyebutkan. Berikutnya adalah hasil survei dari Ditjen Diktiristek (2020) yang mengungkap sebanyak 77% dosen menyatakan bahwa “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus”, dan sebanyak 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahui. Selanjutnya dari YLBHI Bali (2021) menyatakan bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual perempuan terjadi di lingkungan kampus.
Semua data-data yang tersebut di atas semakin menegaskan bahwa sebagian besar perguruan tinggi kita sedang tidak baik-baik saja, dan oleh sebab itu maka diperlukan langkah-langkah yang progresif untuk menyikapinya. Diantara langkah progresif yang harus dilakukan oleh semua perguruan tinggi adalah dengan mendukung diberlakukannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 atau yang biasa dikenali dengan sebutan Permen PPKS. Selain itu, perguruan tinggi juga harus melakukan langkah progresif yang inovatif untuk memudahkan realisasi atau implementasi Permen PPKS tersebut. Misalnya dengan menjadikan mahasiswa sebagai agent of change dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bentuk agent of change ditingkat mahasiswa bisa berupa apa saja sesuai dengan kearifan lokal masing-masing perguruan tinggi.
Contoh kearifan lokal mahasiswa sebagai agent of change dalam hal pencegahan kekerasan seksual di kampus adalah apa yang dilakukan oleh PSGA UNIPAR Jember, yaitu dengan melakukan pemilihan Duta Anti Kekerasan. Diantara tujuan dari dilakukannya pemilihan tersebut adalah menjadikan mahasiswa sebagai konselor sebaya, agar mahasiswa faham hak-haknya dan berani berbicara jika menjadi korban atau jika mengetahui terjadi kekerasan seksual. Diantara tugas Duta Anti Kekerasan adalah mengedukasi sesama mahasiswa dan mengkampanyekan tentang bagaimana kampus yang aman dan ramah bagi semua warga kampus, termasuk mahasiswa.
Setiap perguruan tinggi pasti punya kearifan lokalnya sendiri, selama memiliki tujuan yang baik misalnya untuk menciptakan kampus yang ramah dan aman bagi semua civitas akademika, maka yang harusnya dilakukan sesama perguruan tinggi adalah saling memberikan dukungan agar semua perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Jember dapat menjadi tempat yang ramah dan aman bagi semuanya. Ramah dan aman bagi mahasiswa sebagai generasi bangsa, bagi dosen, bagi tenaga kependidikan, dan bagi semua warga yang ada di kampus. #salaminklusi #unipar #jember
https://www.atmago.com/berita-warga/urgensi-mahasiswa-sebagai-agent-of-change-dalam-pencegahan-kekerasan-di-kampus_b4a2e6dc-c5ad-47be-bd3d-f132fe1f183c
