Transportasi Publik Sulit Diakses Difabel
Community Discussion

PEMENUHAN hak difabel dalam mengakses transportasi publik, sampai kini masih terus menjadi persoalan. Artinya, belum sampai pada taraf ideal. Dengan kata lain, masih terus diupayakan, bahkan dengan upaya pemaksaan, agar mencapai kondisi yang ideal itu. Dalam konteks ini, tentu menjadi tugas negara untuk memenuhi hak difabel dalam mengakses transportasi publik.
Menurut seorang peneliti pada The Habibie Center, Jakarta, Luthfi Ramiz, keterlibatan difabel dalam perencanaan dan pembangunan transportasi publik di Indonesia sangat penting. Namun, hingga kini keterlibatan itu masih sangat minim. Akibatnya, transportasi publik kurang ramah terhadap pengguna kelompok difabel
Pelibatan kelompok difabel secara holistik dalam tahap desain dan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi pada pembangunan transportasi publik akan jauh lebih proporsional dibandingkan dengan melakukan renovasi setelahnya.
Di Yogyakaarta, layanan transportasi publik yang dimiliki negara, adalah melalui armada bus. Melayani beberapa rute dengan halte khusus di beberapa tempat, termasuk halte portabel
Khusus di Yogyakarta, memang ada layanan khusus yang diinisiasi oleh komunitas difabel, melalui jasa ojek kendaraan bermotor beroda tiga
Mestinya, dengan kekuatan pemaksa yang dimiliki, peran negara harus mencegah terjadinya hegemoni, dominasi atau monopoli di ruang publilk dalam bentuk apapun
Pelayanan publik, khususnya bagi difabel, selalu menjadi ironi jika dibandingkan dengan apa yang dengan mudah didapat oleh masyarakat non difabe
Undang-undang No. 8 Tahun 2016 Repubilk Indonesia tentang Penyandang Disabilitas sudah dimiliki dan berlaku secara nasional. Sedangkan khusus di provinsi DIY sudah punya Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur pasal-pasal perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Soal aksesbilitas dan hak publik, di Yogyakarta, misalnya, seperti dituturkan pegiat hak asasi manusia (HAM), Setia Adi Purwanta, masyarakat difabel kesulitan dalam upaya mereka mengakses beragam moda transportasi publik.
Membaca berita tersebut terselip pertanyaan, jika angka 8,8 juta orang itu adalah penduduk Jabodetabek nondifabel, lalu bagaimana dengan para difabel? Kesulitan bagi difabel pasti berlipat-lipat untuk bisa mengakses transportasi publik.
Sebenarnya juga bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan etika kepublikan terkhusus bagi pemenuhan hak difabel. Lebih khusus lagi soal trasportasi publik. Negara sebagai fasilitator semestinya tinggal melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh difabel. Dengan demikian, masyarakat yang semula tidak atau belum sadar dan mengetahui akan adanya hak-hak itu, otomatis akan mendidik diri mereka sendiri kemudian menerapkan etika kepublikan, khususunya bagi difabel. Seperti yang telah dilakukan beberapa negara lain. Semisal yang terjadi di Australia. Adelaide Metro adalah perusahaan angkutan publik yang dikelola oleh pemerintah Australia Selatan, di kota Adelaide. Masinis kereta listrik berperan penuh sebagai representasi negara, dalam fungsinya demi kepentingan publik. Dia tidak sekadar pegawai sebuah institusi penjual jasa angkutan. Tapi juga harus berperan sebagai pemberi fasilitas bagi difabel yang menggunakan jasa transportasi. Baik difabel fisik, pengguna kursi roda, atau difabel netra. Di dalam gerbong kereta, tulisan di dinding: “utamakan penumpang penyandang disabilitas, orang tua, perempuan hamil dan orang yang membawa anak-anak”. Itu berarti, egoisme personal harus dikalahkan demi menegakkan kepentingan publik sekaligus menerapkan etika publik di tengah kehidupan masyarakat dan realitas kehidupan sosial.
Layanan negara untuk memenuhi kepentingan publik bagi warga difabel , demikian nyata. Di Australia setiap bus kota selalu dibubuhi sticker mengajak setiap warga negara agar mendahulukan kepentingan warga difabel. Tak salah jika kekuatan warga negara sebagai penekan (pressure) terus menuntut pada negara demi hak publik mereka terpenuhi sesuai harapan
Menurut seorang peneliti pada The Habibie Center, Jakarta, Luthfi Ramiz, keterlibatan difabel dalam perencanaan dan pembangunan transportasi publik di Indonesia sangat penting. Namun, hingga kini keterlibatan itu masih sangat minim. Akibatnya, transportasi publik kurang ramah terhadap pengguna kelompok difabel
Pelibatan kelompok difabel secara holistik dalam tahap desain dan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi pada pembangunan transportasi publik akan jauh lebih proporsional dibandingkan dengan melakukan renovasi setelahnya.
Di Yogyakaarta, layanan transportasi publik yang dimiliki negara, adalah melalui armada bus. Melayani beberapa rute dengan halte khusus di beberapa tempat, termasuk halte portabel
Khusus di Yogyakarta, memang ada layanan khusus yang diinisiasi oleh komunitas difabel, melalui jasa ojek kendaraan bermotor beroda tiga
Mestinya, dengan kekuatan pemaksa yang dimiliki, peran negara harus mencegah terjadinya hegemoni, dominasi atau monopoli di ruang publilk dalam bentuk apapun
Pelayanan publik, khususnya bagi difabel, selalu menjadi ironi jika dibandingkan dengan apa yang dengan mudah didapat oleh masyarakat non difabe
Undang-undang No. 8 Tahun 2016 Repubilk Indonesia tentang Penyandang Disabilitas sudah dimiliki dan berlaku secara nasional. Sedangkan khusus di provinsi DIY sudah punya Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur pasal-pasal perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Soal aksesbilitas dan hak publik, di Yogyakarta, misalnya, seperti dituturkan pegiat hak asasi manusia (HAM), Setia Adi Purwanta, masyarakat difabel kesulitan dalam upaya mereka mengakses beragam moda transportasi publik.
Membaca berita tersebut terselip pertanyaan, jika angka 8,8 juta orang itu adalah penduduk Jabodetabek nondifabel, lalu bagaimana dengan para difabel? Kesulitan bagi difabel pasti berlipat-lipat untuk bisa mengakses transportasi publik.
Sebenarnya juga bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan etika kepublikan terkhusus bagi pemenuhan hak difabel. Lebih khusus lagi soal trasportasi publik. Negara sebagai fasilitator semestinya tinggal melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh difabel. Dengan demikian, masyarakat yang semula tidak atau belum sadar dan mengetahui akan adanya hak-hak itu, otomatis akan mendidik diri mereka sendiri kemudian menerapkan etika kepublikan, khususunya bagi difabel. Seperti yang telah dilakukan beberapa negara lain. Semisal yang terjadi di Australia. Adelaide Metro adalah perusahaan angkutan publik yang dikelola oleh pemerintah Australia Selatan, di kota Adelaide. Masinis kereta listrik berperan penuh sebagai representasi negara, dalam fungsinya demi kepentingan publik. Dia tidak sekadar pegawai sebuah institusi penjual jasa angkutan. Tapi juga harus berperan sebagai pemberi fasilitas bagi difabel yang menggunakan jasa transportasi. Baik difabel fisik, pengguna kursi roda, atau difabel netra. Di dalam gerbong kereta, tulisan di dinding: “utamakan penumpang penyandang disabilitas, orang tua, perempuan hamil dan orang yang membawa anak-anak”. Itu berarti, egoisme personal harus dikalahkan demi menegakkan kepentingan publik sekaligus menerapkan etika publik di tengah kehidupan masyarakat dan realitas kehidupan sosial.
Layanan negara untuk memenuhi kepentingan publik bagi warga difabel , demikian nyata. Di Australia setiap bus kota selalu dibubuhi sticker mengajak setiap warga negara agar mendahulukan kepentingan warga difabel. Tak salah jika kekuatan warga negara sebagai penekan (pressure) terus menuntut pada negara demi hak publik mereka terpenuhi sesuai harapan