Sejajar Dengan Alam
Berita Warga

Bumi, planet yang kita diami ini bagaikan pecahan surga bagi bermacam spesies. Tentu saja yang dimaksud tidak hanya kita, spesies homo sapiens. Seiring berjalannya waktu, bumi yang kita anggap pecahan surga ini mulai rusak oleh berbagai bencana. Letusan gunung vulkanik, tsunami, gempa bahkan mungkin kita, manusia.
Kiamat yang tak terhindarkan, mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan banyaknya kerusakan yang disebabkan oleh spesies kita. Deforestasi, eksploitasi lahan, eksploitasi hewan, perburuan liar, polusi udara, polusi air, polusi tanah dan masih banyak lagi. Pada bulan Desember 2019, dunia digemparkan dengan munculnya sebuah penyakit yang mengancam kehidupan spesies manusia.
Penyakit ini disebut Coronavirus Disease of 2019 atau akrab didengar dengan sebutan COVID 19. Di Indonesia sendiri COVID 19 masuk pada tanggal 2 Maret 2020. Tidak tanggung-tanggung penyakit ini memakan korban sekitar ribuan jiwa. Kita dipaksa untuk membatasi segala aktifitas sehari-hari. Dampak dari COVID 19 ini tidak hanya dirasakan oleh kota-kota besar di Indonesia, bahkan sampai pada pelosok desa, artinya tanpa terkecuali masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat cerekeng atau wija to’ cerekeng adalah salah satu komunitas masyarakat hukum adat yang adat di Indonesia. Berlokasi pada provinsi Sulawesi selatan, kabupaten luwu timur. Mereka dengan caranya sendiri menghadapi berbagai macam bencana yang datang silih berganti, termasuk juga COVID 19 ini.
Dari sudut pandang masyarakat hukum adat cerekeng, budaya dan ekologi saling mempengaruhi satu sama lain. Kearifan budaya lokal seperti pesan, pantangan dan hidup selaras alam merupakan cara pandang masyarakat adat, juga diantaranya dalam melindungi hutan dan sungai dari eksploitasi. Cara pandang ini dapat dipahami sebagai sistem konservasi, preservasi dan pengurangan risiko bencana (mitigasi).
Bertani, berkebun, dan melaut adalah mata pencaharian utama masyarakat hukum adat cerekeng. Tidak berhenti sampai disini dalam lingkungan masyarakat ini, memiliki sebuah demplot. Tidak seperti kebanyakan demplot yang dimiliki oleh desa-desa lain. Hal ini dikarenakan demplot yang mereka miliki, ditanam berbagai macam sayur-sayuran dan tanaman obat-obatan. Fungsinya tentu saja untuk membantu kebutuhan pangan dalam rumah tangga juga sebagai alternatif penanganan pertama jika ada warga yang mengalami penyakit.
Mungkin sebagian dari kita berfikir bahwa hal ini tidak terlalu berdampak pada kondisi yang dialami, tetapi beda cerita jika kita bercermin dari harga-harga barang yang relatif tidak menentu, belum lagi jarak Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) disana tergolong jauh dari pemukiman, dengan adanya tanaman obat-obatan yang terdapat pada demplot bisa menjadi penanganan pertama, dalam hal ini juga tanaman obat yang ada pada demplot tidak asal digunakan saja. Hal ini dikarenakan ada tata cara penggunaan dan pengolahan yang telah diajarkan turun menurun dari leluhur mereka.
Selain dari kebutuhan pangan dan penanganan, demplot ini juga digunakan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat. Tanaman yang ada pada demplot juga difungsikan sebagai tempat bahan-bahan baku dalam menghasilkan sebuah produk lokal beddak rica dan beddak lotong. Produk yang mereka buat nantinya di produksi dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yang disebut dengan Manurung Sejahtera.
Kita mungkin bagian dari bencana akan tetapi kita juga bagian dari pecahan surga itu, banyaknya kerusakan yang kita perbuat menyebabkan terancamnya sebuah kehidupan. Bercermin dari masyarakat hukum adat cerekeng, yang dimana hidup mereka selaras dengan alam dan lingkungannya adalah salah satu bentuk yang perlu dari kita kebanyakan menjadi sebuah contoh bahwa hidup itu jauh lebih baik jika tidak berlebihan merasa menguasai, seharusnya kita lebih menghargai, menjaga, melestarikan dan SEJAJAR DENGAN ALAM.
#madanichallenge #ayomenulis #wargabantuwarga #citizenjournalism #advokasi #AtmaGo #jurnalismewarga
Kiamat yang tak terhindarkan, mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan banyaknya kerusakan yang disebabkan oleh spesies kita. Deforestasi, eksploitasi lahan, eksploitasi hewan, perburuan liar, polusi udara, polusi air, polusi tanah dan masih banyak lagi. Pada bulan Desember 2019, dunia digemparkan dengan munculnya sebuah penyakit yang mengancam kehidupan spesies manusia.
Penyakit ini disebut Coronavirus Disease of 2019 atau akrab didengar dengan sebutan COVID 19. Di Indonesia sendiri COVID 19 masuk pada tanggal 2 Maret 2020. Tidak tanggung-tanggung penyakit ini memakan korban sekitar ribuan jiwa. Kita dipaksa untuk membatasi segala aktifitas sehari-hari. Dampak dari COVID 19 ini tidak hanya dirasakan oleh kota-kota besar di Indonesia, bahkan sampai pada pelosok desa, artinya tanpa terkecuali masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat cerekeng atau wija to’ cerekeng adalah salah satu komunitas masyarakat hukum adat yang adat di Indonesia. Berlokasi pada provinsi Sulawesi selatan, kabupaten luwu timur. Mereka dengan caranya sendiri menghadapi berbagai macam bencana yang datang silih berganti, termasuk juga COVID 19 ini.
Dari sudut pandang masyarakat hukum adat cerekeng, budaya dan ekologi saling mempengaruhi satu sama lain. Kearifan budaya lokal seperti pesan, pantangan dan hidup selaras alam merupakan cara pandang masyarakat adat, juga diantaranya dalam melindungi hutan dan sungai dari eksploitasi. Cara pandang ini dapat dipahami sebagai sistem konservasi, preservasi dan pengurangan risiko bencana (mitigasi).
Bertani, berkebun, dan melaut adalah mata pencaharian utama masyarakat hukum adat cerekeng. Tidak berhenti sampai disini dalam lingkungan masyarakat ini, memiliki sebuah demplot. Tidak seperti kebanyakan demplot yang dimiliki oleh desa-desa lain. Hal ini dikarenakan demplot yang mereka miliki, ditanam berbagai macam sayur-sayuran dan tanaman obat-obatan. Fungsinya tentu saja untuk membantu kebutuhan pangan dalam rumah tangga juga sebagai alternatif penanganan pertama jika ada warga yang mengalami penyakit.
Mungkin sebagian dari kita berfikir bahwa hal ini tidak terlalu berdampak pada kondisi yang dialami, tetapi beda cerita jika kita bercermin dari harga-harga barang yang relatif tidak menentu, belum lagi jarak Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) disana tergolong jauh dari pemukiman, dengan adanya tanaman obat-obatan yang terdapat pada demplot bisa menjadi penanganan pertama, dalam hal ini juga tanaman obat yang ada pada demplot tidak asal digunakan saja. Hal ini dikarenakan ada tata cara penggunaan dan pengolahan yang telah diajarkan turun menurun dari leluhur mereka.
Selain dari kebutuhan pangan dan penanganan, demplot ini juga digunakan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat. Tanaman yang ada pada demplot juga difungsikan sebagai tempat bahan-bahan baku dalam menghasilkan sebuah produk lokal beddak rica dan beddak lotong. Produk yang mereka buat nantinya di produksi dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yang disebut dengan Manurung Sejahtera.
Kita mungkin bagian dari bencana akan tetapi kita juga bagian dari pecahan surga itu, banyaknya kerusakan yang kita perbuat menyebabkan terancamnya sebuah kehidupan. Bercermin dari masyarakat hukum adat cerekeng, yang dimana hidup mereka selaras dengan alam dan lingkungannya adalah salah satu bentuk yang perlu dari kita kebanyakan menjadi sebuah contoh bahwa hidup itu jauh lebih baik jika tidak berlebihan merasa menguasai, seharusnya kita lebih menghargai, menjaga, melestarikan dan SEJAJAR DENGAN ALAM.
#madanichallenge #ayomenulis #wargabantuwarga #citizenjournalism #advokasi #AtmaGo #jurnalismewarga