Saatnya Yang Muda Memimpin
Berita Warga

Oleh : Muhammad Suhairi Abbas
Suatu kemajuan yang cukup berarti ketika Revisi Terbatas terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memutuskan bahwa syarat umur minimal menjadi calon Bupati atau Walikota adalah 25 tahun[1]. Dengan revisi UU tersebut diharapkan lebih banyak membuka peluang bagi para pemuda untuk dapat mengambil bagian dalam sistem kepemimpinan bangsa ini.
UU No 32 Tahun 2004 sebelum revisi menyatakan bahwa calon kepala daerah minimal harus berusia 30 tahun, dengan usia ini memang ada beberapa bupati yang pada awal menjabat pada usia 30-an, misalnya Bupati Rembang dan Bupati Lamongan. Namun, ketika patokan usia adalah 30 tahun maka tentu saja bagi mereka yang usia dibawahnya terhambat untuk dapat ikut berperan dalam memimpin daerahnya. Taruhlah bagi seorang pemuda yang berusia 27 tahun ditambah pengalaman kepemimpinan dan keorganisasian yang relevan sekalipun akan terganjal oleh aturan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa landasan filosofis maupun sosiologis pematokan usia? Hal ini belum jelas betul dalam latar belakangnya, sehingga berpotensi seorang warga Negara akan merasakan hak-haknya diganjal oleh suatu undang-undang. Kalau pembatasan umur tidak dilandasi oleh argumentasi ilmiah maupun social yang meyakinkan maka dapat saja dikatakan bahwa suatu ketentuan pembatas umur dinyatakan sebagai pelanggaran atau pembatasan HAM seseorang atau warga Negara. Ingat, beberapa waktu KNPI sempat mengajukan Judicial Review Pasal mengenai umur tersebut ke Mahkamah Konstitusi RI.[2]
Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dikenal beberapa macam pembatasan umur minimal untuk menduduki jabatan tertentu: pertama, berumur 30 tahun seperti ketentuan UU No 32 tahun 2004 bagi jabatan kepala daerah; kedua, berumur 21 tahun bagi anggota DPR/DPD/DPRD (UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah); ketiga, berumur 40 tahun bagi jabatan hakim konstitusi (UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi); keempat, berusia 50 tahun bagi hakim agung pada Mahkamah Agung (UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 14 tahun 2005 tentang Mahkamah Agung); kelima, usia minimal 35 tahun untuk menduduki jabatan presiden dan wakil presiden (UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden/wakil presiden); dan lain-lain.
Pembatasan umur yang terlalu ketat semacam itu dapat menimbulkan kaderisasi berjalan lambat dan cenderung merugikan kesempatan kalangan muda untuk memimpin. Apabila dibandingkan dengan masa revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kaderisasi dan kepemimpinan bangsa ini cenderung mengalami kemacetan kader. Pada masa kemerdekaan, Soekarno dan Hatta masih berumur 30-an, Pak Wahid Hasyim masih berumur 30an ketika menjadi menteri agama. Usia mereka bias jadi akan lebih muda lagi ketika masih dalam taraf konsolidasi menuju kemerdekaan.
Pada masa sekarang, kalau kita lihat calon-calon pemimpin atau pejabat public banyak didominasi oleh orang-orang yang sudah tua. Kelihatan dalam bangsa ini kaderisasi kurang jalan, contoh calon presiden dari pemilu tahun 1999 sampai nanti 2009 nama yang keluar itu-itu saja, seputar Megawati, Gus Dur, Amin Rais, SBY, JK, dan lain-lain.
Bangsa ini perlu lebih banyak menginventarisasi kader-kader muda yang potensial untuk mempimpin. Indonesia saat ini lebih banyak pilihan pada kader-kader terbaik, lulusan dalam dan luar negeri, telah mewarnai pemikiran begitu banyak dari masing-masing disiplin untuk dikontribusikan pada bangsa. Tentunya jenjang kaderisasi tidak hanya dilakukan pada level jabatan public, tapi juga jabatan-jabatan di ormas dan partai politik.
Suatu kemajuan yang cukup berarti ketika Revisi Terbatas terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memutuskan bahwa syarat umur minimal menjadi calon Bupati atau Walikota adalah 25 tahun[1]. Dengan revisi UU tersebut diharapkan lebih banyak membuka peluang bagi para pemuda untuk dapat mengambil bagian dalam sistem kepemimpinan bangsa ini.
UU No 32 Tahun 2004 sebelum revisi menyatakan bahwa calon kepala daerah minimal harus berusia 30 tahun, dengan usia ini memang ada beberapa bupati yang pada awal menjabat pada usia 30-an, misalnya Bupati Rembang dan Bupati Lamongan. Namun, ketika patokan usia adalah 30 tahun maka tentu saja bagi mereka yang usia dibawahnya terhambat untuk dapat ikut berperan dalam memimpin daerahnya. Taruhlah bagi seorang pemuda yang berusia 27 tahun ditambah pengalaman kepemimpinan dan keorganisasian yang relevan sekalipun akan terganjal oleh aturan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa landasan filosofis maupun sosiologis pematokan usia? Hal ini belum jelas betul dalam latar belakangnya, sehingga berpotensi seorang warga Negara akan merasakan hak-haknya diganjal oleh suatu undang-undang. Kalau pembatasan umur tidak dilandasi oleh argumentasi ilmiah maupun social yang meyakinkan maka dapat saja dikatakan bahwa suatu ketentuan pembatas umur dinyatakan sebagai pelanggaran atau pembatasan HAM seseorang atau warga Negara. Ingat, beberapa waktu KNPI sempat mengajukan Judicial Review Pasal mengenai umur tersebut ke Mahkamah Konstitusi RI.[2]
Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dikenal beberapa macam pembatasan umur minimal untuk menduduki jabatan tertentu: pertama, berumur 30 tahun seperti ketentuan UU No 32 tahun 2004 bagi jabatan kepala daerah; kedua, berumur 21 tahun bagi anggota DPR/DPD/DPRD (UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah); ketiga, berumur 40 tahun bagi jabatan hakim konstitusi (UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi); keempat, berusia 50 tahun bagi hakim agung pada Mahkamah Agung (UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 14 tahun 2005 tentang Mahkamah Agung); kelima, usia minimal 35 tahun untuk menduduki jabatan presiden dan wakil presiden (UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden/wakil presiden); dan lain-lain.
Pembatasan umur yang terlalu ketat semacam itu dapat menimbulkan kaderisasi berjalan lambat dan cenderung merugikan kesempatan kalangan muda untuk memimpin. Apabila dibandingkan dengan masa revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kaderisasi dan kepemimpinan bangsa ini cenderung mengalami kemacetan kader. Pada masa kemerdekaan, Soekarno dan Hatta masih berumur 30-an, Pak Wahid Hasyim masih berumur 30an ketika menjadi menteri agama. Usia mereka bias jadi akan lebih muda lagi ketika masih dalam taraf konsolidasi menuju kemerdekaan.
Pada masa sekarang, kalau kita lihat calon-calon pemimpin atau pejabat public banyak didominasi oleh orang-orang yang sudah tua. Kelihatan dalam bangsa ini kaderisasi kurang jalan, contoh calon presiden dari pemilu tahun 1999 sampai nanti 2009 nama yang keluar itu-itu saja, seputar Megawati, Gus Dur, Amin Rais, SBY, JK, dan lain-lain.
Bangsa ini perlu lebih banyak menginventarisasi kader-kader muda yang potensial untuk mempimpin. Indonesia saat ini lebih banyak pilihan pada kader-kader terbaik, lulusan dalam dan luar negeri, telah mewarnai pemikiran begitu banyak dari masing-masing disiplin untuk dikontribusikan pada bangsa. Tentunya jenjang kaderisasi tidak hanya dilakukan pada level jabatan public, tapi juga jabatan-jabatan di ormas dan partai politik.