Perkawinan Anak, Memakan Korban Lagi.
Diskusi Komunitas

Hari ini, Kamis, 23 Juni 2022,disebuah lokasi di Jember telah meninggal bayi perempuan berumur 10 bulan
Bayi mungil tersebut meninggal setelah menghadapi dan berjuang melawan diare sendirian selama 3 hari.
Mengapa saya katakan menghadapi dan berjuang melawan sakitnya sendirian, karena selama 3 hari itu tidak mendapatkan perawatan medis.
Pasangan suami istri tersebut tidak membawa anaknya ke medis, selama diare menyerang bayinya.
Baru hari ke 3,setelah Si bayi kehabisan cairan dibawa ke puskesmas, dan saat itu juga oleh puskesmas dirujuk ke rumah sakit milik pemerintah. Tapi ternyata sudah tidak tertolong.
Jadi begini ceritanya, pasangan suami istri itu menikah saat laki-lakinya baru lulus SMP dan istri masih duduk di SMP. Kemudian sama orang tuanya ditunangkan dan dinikahkan siri, lalu tidak berapa lama kemudian hamil sehingga terpaksa dinikahkan secara negara.
Dan akhirnya mereka berdua tinggal di rumah orang tua istri sampai melahirkan bayi perempuan. Setelah melahirkan baru mereka berdua tinggal di rumah orang tuanya suami.
Dua hari yang lalu, pasangan muda tersebut berkunjung ke orang tua istri dengan membawa serta si bayi, lalu si bayi tersebut sakit diare. Selama dua hari sakit, si bayi itu tidak dibawa ke medis, lalu hari ke tiga dibawa pulanglah ke rumah orang tua suami dan langsung di bawa ke puskesmas. Saat di puskesmas ketika mau dinfus itu, pada bayi sdh tdk bisa, karena kondisi bayi sudah pucat dan tidak ada cairan, sehingga langsung di rujuk ke RS milik pemerintah, tutur nenek bayi tersebut saat bercerita pada penulis, ketika takziah tadi pagi.
Sangat dimungkinkan bahwa kasus tersebut karena pasangan muda tersebut lambat dalam mengambil keputusan dan tindakan, apa yang mestinya dilakukan pada bayinya, yang mengakibatkan lambat dalam penangan, sehingga berakibat fatal pada bayinya.
Pernikahan anak yang melahirkan anak, sungguh sangat rentan dan beresiko. Mereka belum punya banyak pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tentang mengasuh dan merawat bayi,tentang membangun relasi atau komunikasi dengan orang lain, sehingga kemana mereka harus bergerak saat terjadi sesuatu pada bayinya.
Belum lagi, menurut penuturan ibu muda tersebut, bayinya hanya beberapa bulan saja diberi ASI Ekslusif, setelah itu justru diberi sufor, susu formula, padahal ASI nya lancar, hanya karena si bsyi tersebut menolak. Mereka kehilangan cara bagaimana supaya si bayi ini tidak menolak ASInya, sehingga hak anak untuk dapat ASI Ekslusif.
Butuh kerja bareng antara masyarakat sebagai pengguna layanan, untuk bisa segera mengakses layanan kesehatan yang ada, serta pemberi layanan yang lebih masif kepada penghina bagaman cara mengakses layanan, bagaimana solusi dari permasslahan-permssalahsn yang muncul, terkait kasus-kasus seperti ini dan mungkin bisa jadi terjadi di tempat lain pada pasangan muda.
Inilah pentingnya mengapa muncul undang-undang pernikahan, bahwa usia laki-laki dan perempuan itu minimal umur 19 tahun. Karena resikonya fatal sekali.
Kasus ini telah menambah panjang deretan kematian bayi di kota Jember tercinta, yang tahun mencatat sebagai kota tertinggi nomer 2 di Jawa Timur untuk angka kematian bayi dan kematian ibu melahirnya.
Bayi mungil tersebut meninggal setelah menghadapi dan berjuang melawan diare sendirian selama 3 hari.
Mengapa saya katakan menghadapi dan berjuang melawan sakitnya sendirian, karena selama 3 hari itu tidak mendapatkan perawatan medis.
Pasangan suami istri tersebut tidak membawa anaknya ke medis, selama diare menyerang bayinya.
Baru hari ke 3,setelah Si bayi kehabisan cairan dibawa ke puskesmas, dan saat itu juga oleh puskesmas dirujuk ke rumah sakit milik pemerintah. Tapi ternyata sudah tidak tertolong.
Jadi begini ceritanya, pasangan suami istri itu menikah saat laki-lakinya baru lulus SMP dan istri masih duduk di SMP. Kemudian sama orang tuanya ditunangkan dan dinikahkan siri, lalu tidak berapa lama kemudian hamil sehingga terpaksa dinikahkan secara negara.
Dan akhirnya mereka berdua tinggal di rumah orang tua istri sampai melahirkan bayi perempuan. Setelah melahirkan baru mereka berdua tinggal di rumah orang tuanya suami.
Dua hari yang lalu, pasangan muda tersebut berkunjung ke orang tua istri dengan membawa serta si bayi, lalu si bayi tersebut sakit diare. Selama dua hari sakit, si bayi itu tidak dibawa ke medis, lalu hari ke tiga dibawa pulanglah ke rumah orang tua suami dan langsung di bawa ke puskesmas. Saat di puskesmas ketika mau dinfus itu, pada bayi sdh tdk bisa, karena kondisi bayi sudah pucat dan tidak ada cairan, sehingga langsung di rujuk ke RS milik pemerintah, tutur nenek bayi tersebut saat bercerita pada penulis, ketika takziah tadi pagi.
Sangat dimungkinkan bahwa kasus tersebut karena pasangan muda tersebut lambat dalam mengambil keputusan dan tindakan, apa yang mestinya dilakukan pada bayinya, yang mengakibatkan lambat dalam penangan, sehingga berakibat fatal pada bayinya.
Pernikahan anak yang melahirkan anak, sungguh sangat rentan dan beresiko. Mereka belum punya banyak pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tentang mengasuh dan merawat bayi,tentang membangun relasi atau komunikasi dengan orang lain, sehingga kemana mereka harus bergerak saat terjadi sesuatu pada bayinya.
Belum lagi, menurut penuturan ibu muda tersebut, bayinya hanya beberapa bulan saja diberi ASI Ekslusif, setelah itu justru diberi sufor, susu formula, padahal ASI nya lancar, hanya karena si bsyi tersebut menolak. Mereka kehilangan cara bagaimana supaya si bayi ini tidak menolak ASInya, sehingga hak anak untuk dapat ASI Ekslusif.
Butuh kerja bareng antara masyarakat sebagai pengguna layanan, untuk bisa segera mengakses layanan kesehatan yang ada, serta pemberi layanan yang lebih masif kepada penghina bagaman cara mengakses layanan, bagaimana solusi dari permasslahan-permssalahsn yang muncul, terkait kasus-kasus seperti ini dan mungkin bisa jadi terjadi di tempat lain pada pasangan muda.
Inilah pentingnya mengapa muncul undang-undang pernikahan, bahwa usia laki-laki dan perempuan itu minimal umur 19 tahun. Karena resikonya fatal sekali.
Kasus ini telah menambah panjang deretan kematian bayi di kota Jember tercinta, yang tahun mencatat sebagai kota tertinggi nomer 2 di Jawa Timur untuk angka kematian bayi dan kematian ibu melahirnya.