Perayaan Paskah
Citizen News

Perayaan Paskah
Menjelang akhir tahun, biasanya gereja-gereja sudah mulai sibuk dan ramai merencanakan berbagai acara untuk merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Bahkan panitia sudah terbentuk sejak berbulan-bulan sebelumnya dan sudah mulai rutin mengadakan rapat-rapat untuk mempersiapkan perayaan hari Natal. Menjelang bulan Desember inilah mulai banyak acara digelar, seperti konser Natal, Natal Sekolah Minggu, Natal Pemuda, Natal bersama, drama musikal Natal, dan lain sebagainya. Sepertinya orang-orang Kristen begitu sibuk melayani di dalam acara-acara yang diselenggarakan untuk merayakan Natal, dan tidak hanya di dalam gereja, di rumah pun turut sibuk menghias pohon Natal, membeli kado Natal, mengirim kartu Natal, dan lain-lain. Memang Natal merupakan hari yang sangat besar untuk setiap umat Kristiani, karena pada hari itulah Tuhan Yesus lahir ke dunia. Tetapi di tengah-tengah semua acara, aktivitas, dan pelayanan orang-orang Kristen di hari Natal, perlu kita renungkan apakah benar kita merayakan kelahiran Kristus di dunia atau kita hanya merayakan sebuah pesta besar untuk menyenangkan diri atau menjustifikasi diri sebagai orang Kristen? Pernahkah kita benar-benar merenungkan apa tujuan kelahiran Kristus yang kita rayakan di hari Natal itu? Tujuan kelahiran Kristus ke dunia bukanlah untuk bersenang-senang, dan bukan juga untuk menjadi raja atas dunia (walaupun dunia dan segala isinya adalah milik-Nya). Dia datang ke dunia untuk mati mencucurkan darah di atas kayu salib demi menyelamatkan umat-Nya. Sesungguhnya puncak penggenapan rencana Allah jatuh pada perayaan hari Jumat Agung dan Paskah, bukan pada hari Natal. Tetapi anehnya, pernahkah kita melihat orang-orang Kristen begitu sibuk dalam bulan-bulan menjelang Paskah? Kalau ada pun, apakah dalam mempersiapkan acara-acara untuk Jumat Agung dan Paskah kita akan seantusias saat mempersiapkan acara-acara Natal? Jadi, mengapakah kita tidak merayakan hari ini semeriah Natal? Mari kita coba pikirkan arti perayaan Paskah itu melalui perenungan kematian Kristus.
Ketika J. I. Packer (1926-sekarang) menulis kata pengantar untuk buku karangan John Owen (1616-1683), “The Death of Death in the Death of Christ”, ia dengan tegas mengatakan bahwa pemberitaan Injil di dalam gereja pada zaman sekarang lebih menekankan pada keselamatan yang “membantu” manusia mencapai damai, kenyamanan, sukacita, dan kepuasan daripada menekankan kemuliaan Allah. Artinya, Injil yang diberitakan di gereja-gereja saat ini hanyalah demi memuaskan keinginan dan kebutuhan manusia untuk mendapatkan kedamaian jiwa (self-justification because they’re reluctant to bear the cross), tetapi Injil yang menceritakan tentang pengorbanan Kristus di kayu salib, karya keselamatan, dan penebusan dosa dengan harga yang begitu mahal tidak terlalu ditekankan. Sehingga kematian Kristus telah turun derajat menjadi salah satu alat manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan diri. J. I. Packer di dalam bukunya juga menunjukkan bahwa di masa lampau, Injil lebih menekankan kemuliaan Allah dan karya keselamatan, sehingga orang lebih dapat melihat pentingnya makna Paskah dalam kemuliaan-Nya.
Pada abad ke-17 ada sekelompok orang yang kini kita sering dengar dengan sebutan kaum Arminian. Mereka percaya bahwa:
Manusia tidak sepenuhnya terkorupsi dosa, sehingga masih ada kemampuan untuk percaya Injil.
Manusia tidak sepenuhnya dikontrol Allah sehingga ada kemungkinan menolak keselamatan.
Kaum pilihan Allah ditentukan karena Allah telah melihat pada akhirnya kaum pilihan-Nya tersebut mempunyai kemampuan untuk percaya.
Kematian Kristus menciptakan kemungkinan keselamatan manusia bila manusia mau percaya.
Kaum percaya harus terus berusaha menjaga anugerah itu dengan memelihara iman mereka.
Kelima pokok yang dipercaya oleh kaum Arminian tersebut oleh J. I. Packer dikontraskan dengan lima pokok Calvinisme yang mengatakan sebagai berikut:
Manusia berdosa pada dasarnya tidak mampu untuk percaya pada Injil maupun hukum Allah.
Menjelang akhir tahun, biasanya gereja-gereja sudah mulai sibuk dan ramai merencanakan berbagai acara untuk merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Bahkan panitia sudah terbentuk sejak berbulan-bulan sebelumnya dan sudah mulai rutin mengadakan rapat-rapat untuk mempersiapkan perayaan hari Natal. Menjelang bulan Desember inilah mulai banyak acara digelar, seperti konser Natal, Natal Sekolah Minggu, Natal Pemuda, Natal bersama, drama musikal Natal, dan lain sebagainya. Sepertinya orang-orang Kristen begitu sibuk melayani di dalam acara-acara yang diselenggarakan untuk merayakan Natal, dan tidak hanya di dalam gereja, di rumah pun turut sibuk menghias pohon Natal, membeli kado Natal, mengirim kartu Natal, dan lain-lain. Memang Natal merupakan hari yang sangat besar untuk setiap umat Kristiani, karena pada hari itulah Tuhan Yesus lahir ke dunia. Tetapi di tengah-tengah semua acara, aktivitas, dan pelayanan orang-orang Kristen di hari Natal, perlu kita renungkan apakah benar kita merayakan kelahiran Kristus di dunia atau kita hanya merayakan sebuah pesta besar untuk menyenangkan diri atau menjustifikasi diri sebagai orang Kristen? Pernahkah kita benar-benar merenungkan apa tujuan kelahiran Kristus yang kita rayakan di hari Natal itu? Tujuan kelahiran Kristus ke dunia bukanlah untuk bersenang-senang, dan bukan juga untuk menjadi raja atas dunia (walaupun dunia dan segala isinya adalah milik-Nya). Dia datang ke dunia untuk mati mencucurkan darah di atas kayu salib demi menyelamatkan umat-Nya. Sesungguhnya puncak penggenapan rencana Allah jatuh pada perayaan hari Jumat Agung dan Paskah, bukan pada hari Natal. Tetapi anehnya, pernahkah kita melihat orang-orang Kristen begitu sibuk dalam bulan-bulan menjelang Paskah? Kalau ada pun, apakah dalam mempersiapkan acara-acara untuk Jumat Agung dan Paskah kita akan seantusias saat mempersiapkan acara-acara Natal? Jadi, mengapakah kita tidak merayakan hari ini semeriah Natal? Mari kita coba pikirkan arti perayaan Paskah itu melalui perenungan kematian Kristus.
Ketika J. I. Packer (1926-sekarang) menulis kata pengantar untuk buku karangan John Owen (1616-1683), “The Death of Death in the Death of Christ”, ia dengan tegas mengatakan bahwa pemberitaan Injil di dalam gereja pada zaman sekarang lebih menekankan pada keselamatan yang “membantu” manusia mencapai damai, kenyamanan, sukacita, dan kepuasan daripada menekankan kemuliaan Allah. Artinya, Injil yang diberitakan di gereja-gereja saat ini hanyalah demi memuaskan keinginan dan kebutuhan manusia untuk mendapatkan kedamaian jiwa (self-justification because they’re reluctant to bear the cross), tetapi Injil yang menceritakan tentang pengorbanan Kristus di kayu salib, karya keselamatan, dan penebusan dosa dengan harga yang begitu mahal tidak terlalu ditekankan. Sehingga kematian Kristus telah turun derajat menjadi salah satu alat manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan diri. J. I. Packer di dalam bukunya juga menunjukkan bahwa di masa lampau, Injil lebih menekankan kemuliaan Allah dan karya keselamatan, sehingga orang lebih dapat melihat pentingnya makna Paskah dalam kemuliaan-Nya.
Pada abad ke-17 ada sekelompok orang yang kini kita sering dengar dengan sebutan kaum Arminian. Mereka percaya bahwa:
Manusia tidak sepenuhnya terkorupsi dosa, sehingga masih ada kemampuan untuk percaya Injil.
Manusia tidak sepenuhnya dikontrol Allah sehingga ada kemungkinan menolak keselamatan.
Kaum pilihan Allah ditentukan karena Allah telah melihat pada akhirnya kaum pilihan-Nya tersebut mempunyai kemampuan untuk percaya.
Kematian Kristus menciptakan kemungkinan keselamatan manusia bila manusia mau percaya.
Kaum percaya harus terus berusaha menjaga anugerah itu dengan memelihara iman mereka.
Kelima pokok yang dipercaya oleh kaum Arminian tersebut oleh J. I. Packer dikontraskan dengan lima pokok Calvinisme yang mengatakan sebagai berikut:
Manusia berdosa pada dasarnya tidak mampu untuk percaya pada Injil maupun hukum Allah.