Jaringan GUSDURian: Bagaimana Kami Membangun Pura Satu-Satunya di Sumatera Barat
Berita Warga
![](https://d39wptbp5at4nd.cloudfront.net/avatars/128019_thumb_1391962605.jpg)
Penulis: Ni Putu Eka Budi P.W.D, Project Multatuli
Sembilan belas tahun lalu, saat aku berumur empat tahun, ayah dan ibu mengajakku ke suatu tempat di pinggiran Kota Padang. Kami naik sepeda motor. Ayah menyetir, aku duduk di tengah, ibu duduk di atas pegangan besi di ujung belakang jok motor. Kami menyusuri jalan berbatu diapit semak belukar di sisi kanan-kiri, di bawah langit biru cerah. Kira-kira setelah 15 menit kami tiba di sebuah pura. Ini adalah pura satu-satunya di Sumatera Barat. Dan letaknya tersembunyi.
Aku menyebut “tersembunyi” karena dalam benakku saat itu, aku tidak melihat kesulitan teman-teman lain untuk beribadah. Kenapa ada yang mudah beribadah, kenapa ada yang tidak? Kenapa ada yang harus pergi jauh ke rumah ibadah?
Rasa penasaran pelan-pelan membesar menjadi rasa keingintahuan. Sampai kemudian aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kelak aku ingin mengisahkan bagaimana kami, orangtuaku dan keluarga-keluarga Hindu di Sumatera Barat, membangun pura.
Kami adalah minoritas di Sumatera Barat. Hanya 102 orang atau kurang dari 0,1 persen dari total 5,6 juta penduduk Sumatera Barat. Mayoritas, atau sebanyak 97,6 persen, warga Sumatera Barat beragama Islam. Tak heran norma-norma ajaran Islam kental mewarnai kehidupan sehari-hari di provinsi ini. Di Indonesia, di antara minoritas Konghucu, "Aliran Kepercayaan", dan Buddha, kami adalah yang terbanyak, jumlahnya sekitar 4,67 juta atau 1,71% dari total penduduk, yang kebanyakan tinggal di Pulau Bali.
Dengan jumlah pemeluk yang sangat sedikit dan dengan tempat tinggal yang menyebar di Ranah Minang, mendirikan pura bukanlah perkara mudah.
Sebelum pura ini berdiri, peribadatan dilakukan di rumah penduduk secara bergiliran. Kurang nyaman memang, tapi itu lebih baik ketimbang kami sama sekali tak bisa melakukan peribadatan.
Aku sendiri lahir di tanah Minang. Orangtuaku asal Bali. Bapak adalah aparatur sipil negara yang ditempatkan di Padang sejak 1994. Setelah beberapa tahun, bapak menikahi ibu. Ibu sebelumnya menamatkan pendidikan di salah satu kampus negeri di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kemudian, bapak memboyong ibu ke Padang.
Orangtuaku harus menghadapi lingkungan yang anak-anaknya diminta mengenakan jilbab di sekolah negeri. Orangtuaku bersikukuh memperjuangkan hak anaknya agar bisa terbebas dari aturan ‘wajib jilbab’.
Saat dulu aku bersekolah, pertanyaan spesifik soal agama turut dilayangkan oleh teman-teman sekolah. Aku berusaha menjawab pertanyaan dari mereka walaupun pada akhirnya, ada yang memintaku melantunkan kalimat syahadat. Aku terdiam, dan mengelak.
Aku merasa sedih karena ada beberapa dari mereka yang tidak toleran atas perbedaan agama. Tidak semuanya, hanya segelintir.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://gusdurian.net/pura-tersembunyi-di-padang-bagaimana-kami-membangun-pura-satu-satunya-di-sumatera-barat/
Sembilan belas tahun lalu, saat aku berumur empat tahun, ayah dan ibu mengajakku ke suatu tempat di pinggiran Kota Padang. Kami naik sepeda motor. Ayah menyetir, aku duduk di tengah, ibu duduk di atas pegangan besi di ujung belakang jok motor. Kami menyusuri jalan berbatu diapit semak belukar di sisi kanan-kiri, di bawah langit biru cerah. Kira-kira setelah 15 menit kami tiba di sebuah pura. Ini adalah pura satu-satunya di Sumatera Barat. Dan letaknya tersembunyi.
Aku menyebut “tersembunyi” karena dalam benakku saat itu, aku tidak melihat kesulitan teman-teman lain untuk beribadah. Kenapa ada yang mudah beribadah, kenapa ada yang tidak? Kenapa ada yang harus pergi jauh ke rumah ibadah?
Rasa penasaran pelan-pelan membesar menjadi rasa keingintahuan. Sampai kemudian aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kelak aku ingin mengisahkan bagaimana kami, orangtuaku dan keluarga-keluarga Hindu di Sumatera Barat, membangun pura.
Kami adalah minoritas di Sumatera Barat. Hanya 102 orang atau kurang dari 0,1 persen dari total 5,6 juta penduduk Sumatera Barat. Mayoritas, atau sebanyak 97,6 persen, warga Sumatera Barat beragama Islam. Tak heran norma-norma ajaran Islam kental mewarnai kehidupan sehari-hari di provinsi ini. Di Indonesia, di antara minoritas Konghucu, "Aliran Kepercayaan", dan Buddha, kami adalah yang terbanyak, jumlahnya sekitar 4,67 juta atau 1,71% dari total penduduk, yang kebanyakan tinggal di Pulau Bali.
Dengan jumlah pemeluk yang sangat sedikit dan dengan tempat tinggal yang menyebar di Ranah Minang, mendirikan pura bukanlah perkara mudah.
Sebelum pura ini berdiri, peribadatan dilakukan di rumah penduduk secara bergiliran. Kurang nyaman memang, tapi itu lebih baik ketimbang kami sama sekali tak bisa melakukan peribadatan.
Aku sendiri lahir di tanah Minang. Orangtuaku asal Bali. Bapak adalah aparatur sipil negara yang ditempatkan di Padang sejak 1994. Setelah beberapa tahun, bapak menikahi ibu. Ibu sebelumnya menamatkan pendidikan di salah satu kampus negeri di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kemudian, bapak memboyong ibu ke Padang.
Orangtuaku harus menghadapi lingkungan yang anak-anaknya diminta mengenakan jilbab di sekolah negeri. Orangtuaku bersikukuh memperjuangkan hak anaknya agar bisa terbebas dari aturan ‘wajib jilbab’.
Saat dulu aku bersekolah, pertanyaan spesifik soal agama turut dilayangkan oleh teman-teman sekolah. Aku berusaha menjawab pertanyaan dari mereka walaupun pada akhirnya, ada yang memintaku melantunkan kalimat syahadat. Aku terdiam, dan mengelak.
Aku merasa sedih karena ada beberapa dari mereka yang tidak toleran atas perbedaan agama. Tidak semuanya, hanya segelintir.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://gusdurian.net/pura-tersembunyi-di-padang-bagaimana-kami-membangun-pura-satu-satunya-di-sumatera-barat/