Genta Rohani Khonghucu: Khonghucu Kerukunan dan Moderasi Beragama dalam Konteks Kemajemukan
Berita Warga

Penduduk yang tinggal di Nusantara merupakan masyarakat majemuk, terdiri atas ratusan etnis suku bangsa dan terus berkembang dengan aneka ragam bahasa dan budaya. Mereka juga memiliki berbagai latar belakang agama dan keyakinan, serta terpisah satu sama lain oleh pulau, gunung, dan lautan. Namun, mereka telah bersepakat untuk hidup bersatu dalam bingkai semangat Bhinneka Tunggal Ika dan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemajemukan yang luar biasa telah menyadarkan para pendiri bangsa untuk menyusun satu alat pengikat yang dapat mempersatukan dan sekaligus menjadi dasar negara, pandangan hidup, dan cita-cita bersama, yaitu Pancasila.
Lewat untaian sila-silanya, Pancasila telah menerima, merayakan, mewakili, menjamin dan menghargai setiap perbedaan keyakinan, etnisitas, dan secara aktif dan sadar menyatukannya. Bahkan, ditegaskan dalam sila keempat bahwa semua itu melewati proses yang penuh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lebih jauh lagi ditegaskan dalam kesepakatan cita-cita dan tujuan bersama, sebuah tekad dan keinginan untuk menuju dan membangun negara Indonesia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Para pendiri bangsa amat menyadari sejak awal bahwa bangsa Indonesia yang ingin mereka bangun adalah bangsa yang terbentuk dari kebhinnekaan yang amat luas, multi etnis, multi kultural dan multi keyakinan. Negara Indonesia yang ingin dibangun adalah negara untuk semua warga negara, tanpa ada pembedaan hak dan kewajiban atas dasar latar belakang primordial. Negara yang menjunjung persatuan Indonesia. Inilah hal amat mendasar yang perlu dipahami, disadari dan dihayati oleh seluruh insan Indonesia, terutama bagi para pemandu arah, pengambil kebijakan dan penjaga keharmonisan bangsa.
Sering kali kita melihat, mendengar dan menyaksikan dari berbagai media pertikaian yang terjadi di berbagai daerah, bahkan tak sedikit yang membawa-bawa agama sebagai penyebab. Mengapa semua ini bisa terjadi? Ada apakah dan mengapa? Mengapa Pancasila saat ini seakan-akan dilupakan atau ditinggalkan? Banyak teori dan argumen yang telah dikemukakan. Banyak argumen telah disampaikan dan dipaparkan.
Dari sekian banyak teori dan argumen itu, yang paling menonjol adalah kesan kuat sebagian masyarakat bahwa apa yang dicita-citakan bersama dan tersurat dalam sila kelima Pancasila, pada praktiknya masih jauh panggang dari api, meski kita telah berpuluh tahun lamanya merdeka. Banyak daerah – dan tentu saja warga negara – yang merasa lama dianaktirikan. Banyak ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi. Inilah yang kemudian dipersepsikan direpresentasikan sebagai sebuah kegagalan dari Pancasila.
Ketika sebuah pengikat dianggap gagal dan tidak mampu membawa ke tujuan atau cita –cita bersama, wajar bila kemudian muncul wacana dan keinginan untuk menampilkan atau menggantinya dengan yang lain. Apalagi memang sejak awalnya masih ada keinginan dari sebagian kecil masyarakat yang ingin menawarkan wujud pengikat lain, meski pun sejujurnya tidak ada yang lebih pas dari Pancasila itu sendiri. Inilah yang perlu kita sadari, jangan sampai kita keliru melangkah - katakanlah muncul keinginan mengganti Pancasila dan kemudian baru menyesalinya kalau kemudian berakibat sangat fatal.
Berangkat dari kesadaran itu, kita harus berani secara terbuka, dewasa dan terus menerus melakukan koreksi dan perbaikan. Penyegaran perlu dilakukan terus menerus sesuai kebutuhan zaman. Fanatisme dan pandangan agama dan keyakinan tidak perlu saling dipertentangkan dengan Pancasila. Namun pengejewantahan Pancasila dalam keseharian dan kehidupan berbangsa dan bernegara tetap harus dikawal agar tidak menyimpang dari hakikatnya, terus bergulir maju menggapai harapan.
Sebaliknya para tokoh dan rohaniwan juga perlu mengawal penerapan nilai-nilai agama agar tidak menyimpang dan fanatis berlebih-lebihan. Agama-agama jangan sampai terjebak pada fanatisme membuta dan bahkan sampai mengarah pada ekstrimisme radikalisme. Agama, sesuai misi sucinya harus benar-benar bicara dalam bahasa Kemanusiaan, Cinta Kasih, Kebenaran, Keadilan, Kejujuran, Kesetaraan, Keberanian, Kebersamaan, Tepasalira dan Kearifbijaksanaan, sehingga akan melahirkan generasi baru yang berbakti pada orangtua, keluarga, masyarakat, dan bangsa, yang hidup bersatu, rukun, damai dan harmonis.
Ada sebuah nasihat bijak dari para nabi, “Bila ingin memimpin dunia, terlebih dulu harus mampu memimpin negara. Bila ingin memimpin negara, terlebih dahulu harus mampu memimpin masyarakat. Bila ingin memimpin masyarakat, terlebih dulu harus mampu memimpin keluarga. Bila ingin memimpin keluarga, harus lebih dulu mampu memimpin diri sendiri”. Nasihat bijak ini kiranya perlu direnungkan lebih dulu oleh kita semua, terutama yang menjadi - telah atau calon pemandu keharmonisan umat. Bila keluarga-keluarga tegak dan saling percaya satu sama lain, niscaya negara pun berdiri kokoh kuat. Keluarga adalah pokok negara.
Konsekuensinya, kita semua harus mampu menghayati kebhinnekaan kita, memahami pentingnya Pancasila dan mendalami ajaran agama kita secara seimbang, baik dari sisi vertikal, horizontal maupun diametral. Setiap agama selalu mengajarkan, menganjurkan, menekankan keselarasan hubungan dengan Sang Maha Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar. Ambillah jalan kearifan, jalan kewajaran, jalan moderasi, Jalan Tengah, Zhong He (Tengah Harmonis) dan Zhong Yong (Tengah Sempurna), jalan yang telah disepakati bersama, jalan kebersamaan, bukan jalan yang memaksakan, apalagi jalan yang semaunya sendiri.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://kemenag.go.id/read/kerukunan-dan-moderasi-beragama-dalam-konteks-kemajemukan-8nj1g
Foto: Paul Arden
Kemajemukan yang luar biasa telah menyadarkan para pendiri bangsa untuk menyusun satu alat pengikat yang dapat mempersatukan dan sekaligus menjadi dasar negara, pandangan hidup, dan cita-cita bersama, yaitu Pancasila.
Lewat untaian sila-silanya, Pancasila telah menerima, merayakan, mewakili, menjamin dan menghargai setiap perbedaan keyakinan, etnisitas, dan secara aktif dan sadar menyatukannya. Bahkan, ditegaskan dalam sila keempat bahwa semua itu melewati proses yang penuh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lebih jauh lagi ditegaskan dalam kesepakatan cita-cita dan tujuan bersama, sebuah tekad dan keinginan untuk menuju dan membangun negara Indonesia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Para pendiri bangsa amat menyadari sejak awal bahwa bangsa Indonesia yang ingin mereka bangun adalah bangsa yang terbentuk dari kebhinnekaan yang amat luas, multi etnis, multi kultural dan multi keyakinan. Negara Indonesia yang ingin dibangun adalah negara untuk semua warga negara, tanpa ada pembedaan hak dan kewajiban atas dasar latar belakang primordial. Negara yang menjunjung persatuan Indonesia. Inilah hal amat mendasar yang perlu dipahami, disadari dan dihayati oleh seluruh insan Indonesia, terutama bagi para pemandu arah, pengambil kebijakan dan penjaga keharmonisan bangsa.
Sering kali kita melihat, mendengar dan menyaksikan dari berbagai media pertikaian yang terjadi di berbagai daerah, bahkan tak sedikit yang membawa-bawa agama sebagai penyebab. Mengapa semua ini bisa terjadi? Ada apakah dan mengapa? Mengapa Pancasila saat ini seakan-akan dilupakan atau ditinggalkan? Banyak teori dan argumen yang telah dikemukakan. Banyak argumen telah disampaikan dan dipaparkan.
Dari sekian banyak teori dan argumen itu, yang paling menonjol adalah kesan kuat sebagian masyarakat bahwa apa yang dicita-citakan bersama dan tersurat dalam sila kelima Pancasila, pada praktiknya masih jauh panggang dari api, meski kita telah berpuluh tahun lamanya merdeka. Banyak daerah – dan tentu saja warga negara – yang merasa lama dianaktirikan. Banyak ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi. Inilah yang kemudian dipersepsikan direpresentasikan sebagai sebuah kegagalan dari Pancasila.
Ketika sebuah pengikat dianggap gagal dan tidak mampu membawa ke tujuan atau cita –cita bersama, wajar bila kemudian muncul wacana dan keinginan untuk menampilkan atau menggantinya dengan yang lain. Apalagi memang sejak awalnya masih ada keinginan dari sebagian kecil masyarakat yang ingin menawarkan wujud pengikat lain, meski pun sejujurnya tidak ada yang lebih pas dari Pancasila itu sendiri. Inilah yang perlu kita sadari, jangan sampai kita keliru melangkah - katakanlah muncul keinginan mengganti Pancasila dan kemudian baru menyesalinya kalau kemudian berakibat sangat fatal.
Berangkat dari kesadaran itu, kita harus berani secara terbuka, dewasa dan terus menerus melakukan koreksi dan perbaikan. Penyegaran perlu dilakukan terus menerus sesuai kebutuhan zaman. Fanatisme dan pandangan agama dan keyakinan tidak perlu saling dipertentangkan dengan Pancasila. Namun pengejewantahan Pancasila dalam keseharian dan kehidupan berbangsa dan bernegara tetap harus dikawal agar tidak menyimpang dari hakikatnya, terus bergulir maju menggapai harapan.
Sebaliknya para tokoh dan rohaniwan juga perlu mengawal penerapan nilai-nilai agama agar tidak menyimpang dan fanatis berlebih-lebihan. Agama-agama jangan sampai terjebak pada fanatisme membuta dan bahkan sampai mengarah pada ekstrimisme radikalisme. Agama, sesuai misi sucinya harus benar-benar bicara dalam bahasa Kemanusiaan, Cinta Kasih, Kebenaran, Keadilan, Kejujuran, Kesetaraan, Keberanian, Kebersamaan, Tepasalira dan Kearifbijaksanaan, sehingga akan melahirkan generasi baru yang berbakti pada orangtua, keluarga, masyarakat, dan bangsa, yang hidup bersatu, rukun, damai dan harmonis.
Ada sebuah nasihat bijak dari para nabi, “Bila ingin memimpin dunia, terlebih dulu harus mampu memimpin negara. Bila ingin memimpin negara, terlebih dahulu harus mampu memimpin masyarakat. Bila ingin memimpin masyarakat, terlebih dulu harus mampu memimpin keluarga. Bila ingin memimpin keluarga, harus lebih dulu mampu memimpin diri sendiri”. Nasihat bijak ini kiranya perlu direnungkan lebih dulu oleh kita semua, terutama yang menjadi - telah atau calon pemandu keharmonisan umat. Bila keluarga-keluarga tegak dan saling percaya satu sama lain, niscaya negara pun berdiri kokoh kuat. Keluarga adalah pokok negara.
Konsekuensinya, kita semua harus mampu menghayati kebhinnekaan kita, memahami pentingnya Pancasila dan mendalami ajaran agama kita secara seimbang, baik dari sisi vertikal, horizontal maupun diametral. Setiap agama selalu mengajarkan, menganjurkan, menekankan keselarasan hubungan dengan Sang Maha Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar. Ambillah jalan kearifan, jalan kewajaran, jalan moderasi, Jalan Tengah, Zhong He (Tengah Harmonis) dan Zhong Yong (Tengah Sempurna), jalan yang telah disepakati bersama, jalan kebersamaan, bukan jalan yang memaksakan, apalagi jalan yang semaunya sendiri.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://kemenag.go.id/read/kerukunan-dan-moderasi-beragama-dalam-konteks-kemajemukan-8nj1g
Foto: Paul Arden