Antirokok dan Obrolan Warkop (Bagian Kedua-Selesai)
Diskusi Komunitas

Jika dilacak lebih dalam, kenaikan harga rokok tidaklah fenomonologis semata. Sosiologisnya menerabas gerak komunalisme di komunitas masyarakat yang sudah menjadi perekat sosial bakal renggang. Aktivitas merokok sudah menjadi bagian prosedur keakraban antar manusia di ruang sosial.
Tiga ilmuwan dari UCLA (Universitas California Los Angeles), Ruth Roemer, Milton I Roemer, dan Allyn L Taylor, di suatu hari di bulan Juli tahun 1993 berdiskusi. Roomer terkesan dengan artikel Taylor yang dipublikasikan di jurnal American Journal of Law and Medicine. Oleh Taylor dalam tulisannya itu menekankan pentingnya kekuasaan WHO mendorong terwujudnya hukum internasional dalam membangun kesehatan publik.
Bertahun tahun sebelum ketiga ilmuwan itu berdiskusi, masyarakat di Sulawesi Selatan telah menjadikan aktivitas merokok sebagai bagian gaya hidup. Hal mana terjadi di sejumlah wilayah yang lain di Indonesia. Agus Salim, tokoh bangsa ini, suatu ketika menghadiri acara kedutaan di Inggris, hembusan asap kreteknya tercium oleh seorang diplomat Inggris dan bertanya, asap apa gerangan yang keluar dari mulut dubes Indonesia untuk Inggris itu. “Inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang menjajah negeri kami,” timpal Agus Salim.
Di tahun 2003, ide ketiga ilmuwan UCLA itu mulai diterapkan WHO dan barulah di tahun 2005 yang melibatkan 172 negara di sidang PBB, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) bentuk hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau. Traktat ini mengikat secara hukum bagi negara yang telah meratifikasinya. Indonesia termasuk penanda tangan hukum internasional ini.
Mengulas aksi para begundal antirokok amatlah panjang dan tak berkesudahan. Jika harus disimpulkan, para begundal itu semata melihat rokok sebagai persoalan kesehatan tanpa mau melihat jutaan manusia terkait hubungan sosial dan ekonomi bergantung pada budidaya tembakau dengan industri terkait.
“Apakah kau tetap merokok jika sebungkus rokok andalanmu senilai 50.000 rupiah,” ujar seseorang kepada kawannya di suatu siang yang terik di warkop yang papan namanya diterbangkan angin kemarau tak lama setelah ia menyulut rokoknya.
Saya yang duduk di belakang mejanya ketika menuliskan ini ditemani secangkir kopi dengan dua buku, Kriminalisasi Berujung Monopoli (Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional) dan Nicotine War (Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat), yang menjadi rujukan utama memeroleh data penunjang. Sempat terhenti ketika hendak menyulut rokok ketujuh kala kawannya itu menanggapi.
“Tidak. Saya akan tetap merokok sampai ajal memanggil.”
*
Tulisan ini sudah pernah tayang di Saraung.Com dan BolehMerokok.Com. Dimuat kembali untuk tujuan diskusi dan pendidikan wacana inklusif
Tiga ilmuwan dari UCLA (Universitas California Los Angeles), Ruth Roemer, Milton I Roemer, dan Allyn L Taylor, di suatu hari di bulan Juli tahun 1993 berdiskusi. Roomer terkesan dengan artikel Taylor yang dipublikasikan di jurnal American Journal of Law and Medicine. Oleh Taylor dalam tulisannya itu menekankan pentingnya kekuasaan WHO mendorong terwujudnya hukum internasional dalam membangun kesehatan publik.
Bertahun tahun sebelum ketiga ilmuwan itu berdiskusi, masyarakat di Sulawesi Selatan telah menjadikan aktivitas merokok sebagai bagian gaya hidup. Hal mana terjadi di sejumlah wilayah yang lain di Indonesia. Agus Salim, tokoh bangsa ini, suatu ketika menghadiri acara kedutaan di Inggris, hembusan asap kreteknya tercium oleh seorang diplomat Inggris dan bertanya, asap apa gerangan yang keluar dari mulut dubes Indonesia untuk Inggris itu. “Inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang menjajah negeri kami,” timpal Agus Salim.
Di tahun 2003, ide ketiga ilmuwan UCLA itu mulai diterapkan WHO dan barulah di tahun 2005 yang melibatkan 172 negara di sidang PBB, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) bentuk hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau. Traktat ini mengikat secara hukum bagi negara yang telah meratifikasinya. Indonesia termasuk penanda tangan hukum internasional ini.
Mengulas aksi para begundal antirokok amatlah panjang dan tak berkesudahan. Jika harus disimpulkan, para begundal itu semata melihat rokok sebagai persoalan kesehatan tanpa mau melihat jutaan manusia terkait hubungan sosial dan ekonomi bergantung pada budidaya tembakau dengan industri terkait.
“Apakah kau tetap merokok jika sebungkus rokok andalanmu senilai 50.000 rupiah,” ujar seseorang kepada kawannya di suatu siang yang terik di warkop yang papan namanya diterbangkan angin kemarau tak lama setelah ia menyulut rokoknya.
Saya yang duduk di belakang mejanya ketika menuliskan ini ditemani secangkir kopi dengan dua buku, Kriminalisasi Berujung Monopoli (Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional) dan Nicotine War (Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat), yang menjadi rujukan utama memeroleh data penunjang. Sempat terhenti ketika hendak menyulut rokok ketujuh kala kawannya itu menanggapi.
“Tidak. Saya akan tetap merokok sampai ajal memanggil.”
*
Tulisan ini sudah pernah tayang di Saraung.Com dan BolehMerokok.Com. Dimuat kembali untuk tujuan diskusi dan pendidikan wacana inklusif