Sekolah-Sekolah yang Merawat Keberagaman dan Kepedulian Khas Indonesia
Berita Warga

Memasuki area sekolah, nuansa keberagaman khas Indonesia langsung tergambar. Masjid, gereja, pura, serta wihara berdampingan dalam satu kompleks.
Jelang Hari Kemerdekaan Indonesia, sekolah yang dikelola Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda di Medan, Sumatera Utara, itu semacam menjadi pengingat bahwa multikulturalisme adalah aset dan identitas Indonesia. Sesuatu yang sifatnya terberi dan karena itu sepatutnya diuri-uri.
Sekolah tersebut memang memberikan akses pendidikan bagi semua orang tanpa membedakan suku, agama, dan ras serta tingkat sosial ekonomi. Siswanya tetap menghormati satu sama lain.
’’Saya dengan kawan-kawan, kami berbeda-beda agama dan suku budaya, tapi kami tetap belajar bersama, tetap bermain bersama. Nggak ada yang saling ejek,” tutur Faiz, siswa kelas VIII keturunan Tionghoa yang mengaku sejak TK bersekolah di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda tersebut, kepada Sumut Pos.
Nun di Ponorogo, Jawa Timur, penghormatan kepada yang lain, berempati kepada sesama, yang menjadi tulang punggung masyarakat bangsa yang komunal seperti Indonesia juga dipraktikkan dalam keseharian anak sekolah. Caranya, tiap siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 Paju, Ponorogo, dibekali kaleng peduli.
Tiap bulan terkumpul sekitar Rp 7 juta. Tiga bulan sekali, dana yang terkumpul dari 253 kaleng itu dibagikan kepada murid yang secara ekonomi membutuhkan. Nominalnya memang tidak terlampau besar. Tapi, setidaknya dapat meringankan biaya pembelian buku dan peralatan sekolah. ’’Pemberiannya bergiliran tiga bulan sekali. Semua murid yang membutuhkan pasti mendapatkan,’’ kata Kepala MIN 6 Ponorogo Agus Prawoto kepada Jawa Pos Radar Madiun.
Pimpinan Sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) Edy Jitro Sihombing MPd mengatakan, sekolah yang dirinya pimpin selalu berupaya menumbuhkan sikap saling menghormati dan menjaga toleransi antarumat beragama sesuai kepercayaan yang dianut. ’’Siswa di sekolah ini terdiri atas beragam suku dan agama. Komposisinya hampir sama. Demikian juga unsur pimpinan, guru, dan staf,” katanya.
Jadi, lanjut Edy, misalnya di SD, kepala sekolahnya Islam, wakilnya Kristen. Demikian juga di SMP, kepala sekolahnya semisal Buddha, wakilnya bisa Islam atau agama lain. ’’Contohnya seperti itu,’’ ujarnya kepada Sumut Pos, Kamis (11/8) lalu.
YPSIM, sebuah sekolah satu atap TK, SD, SMP, SMA/SMK ini, berlokasi di Jalan Sunggal. Didirikan pada 25 Agustus 1987 oleh dr Sofyan Tan, seorang pemuda Tionghoa yang berasal dari Desa Sunggal, sekolah itu terletak di atas pertapakan yang terselip di ujung sebuah gang. Namanya Gang Bakul, Desa Sunggal, Medan.
Gedung Sekolah Sultan Iskandar Muda berdiri di atas tanah sawah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dengan luas kurang lebih 1.500 meter persegi. Sekolah yang terletak di pinggiran Kota Medan itu dibangun sebagai bentuk realisasi dari mimpi seorang Sofyan Tan. Jika Martin Luther King di Amerika Serikat bermimpi suatu saat warga kulit hitam bisa punya hak-hak yang setara dengan warga kulit putih lain, mimpi pendiri Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda kala itu adalah agar suatu saat anak-anak miskin bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang bermutu.
Keberadaan dan konsep yang diterapkan di sekolah itu mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim memuji Sekolah Sultan Iskandar Muda tersebut sebagai simbol kebinekaan yang sangat menginspirasi. ’’Saya lihat di sini ada wihara, pura, gereja, dan masjid. Semuanya menjadi simbol kebhinekaan,’’ ujarnya saat berkunjung ke sekolah itu beberapa waktu lalu.
Seelengkapnya: https://www.jawapos.com/nasional/15/08/2022/sekolah-sekolah-yang-merawat-keberagaman-dan-kepedulian-khas-indonesia/
Jelang Hari Kemerdekaan Indonesia, sekolah yang dikelola Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda di Medan, Sumatera Utara, itu semacam menjadi pengingat bahwa multikulturalisme adalah aset dan identitas Indonesia. Sesuatu yang sifatnya terberi dan karena itu sepatutnya diuri-uri.
Sekolah tersebut memang memberikan akses pendidikan bagi semua orang tanpa membedakan suku, agama, dan ras serta tingkat sosial ekonomi. Siswanya tetap menghormati satu sama lain.
’’Saya dengan kawan-kawan, kami berbeda-beda agama dan suku budaya, tapi kami tetap belajar bersama, tetap bermain bersama. Nggak ada yang saling ejek,” tutur Faiz, siswa kelas VIII keturunan Tionghoa yang mengaku sejak TK bersekolah di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda tersebut, kepada Sumut Pos.
Nun di Ponorogo, Jawa Timur, penghormatan kepada yang lain, berempati kepada sesama, yang menjadi tulang punggung masyarakat bangsa yang komunal seperti Indonesia juga dipraktikkan dalam keseharian anak sekolah. Caranya, tiap siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 Paju, Ponorogo, dibekali kaleng peduli.
Tiap bulan terkumpul sekitar Rp 7 juta. Tiga bulan sekali, dana yang terkumpul dari 253 kaleng itu dibagikan kepada murid yang secara ekonomi membutuhkan. Nominalnya memang tidak terlampau besar. Tapi, setidaknya dapat meringankan biaya pembelian buku dan peralatan sekolah. ’’Pemberiannya bergiliran tiga bulan sekali. Semua murid yang membutuhkan pasti mendapatkan,’’ kata Kepala MIN 6 Ponorogo Agus Prawoto kepada Jawa Pos Radar Madiun.
Pimpinan Sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) Edy Jitro Sihombing MPd mengatakan, sekolah yang dirinya pimpin selalu berupaya menumbuhkan sikap saling menghormati dan menjaga toleransi antarumat beragama sesuai kepercayaan yang dianut. ’’Siswa di sekolah ini terdiri atas beragam suku dan agama. Komposisinya hampir sama. Demikian juga unsur pimpinan, guru, dan staf,” katanya.
Jadi, lanjut Edy, misalnya di SD, kepala sekolahnya Islam, wakilnya Kristen. Demikian juga di SMP, kepala sekolahnya semisal Buddha, wakilnya bisa Islam atau agama lain. ’’Contohnya seperti itu,’’ ujarnya kepada Sumut Pos, Kamis (11/8) lalu.
YPSIM, sebuah sekolah satu atap TK, SD, SMP, SMA/SMK ini, berlokasi di Jalan Sunggal. Didirikan pada 25 Agustus 1987 oleh dr Sofyan Tan, seorang pemuda Tionghoa yang berasal dari Desa Sunggal, sekolah itu terletak di atas pertapakan yang terselip di ujung sebuah gang. Namanya Gang Bakul, Desa Sunggal, Medan.
Gedung Sekolah Sultan Iskandar Muda berdiri di atas tanah sawah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dengan luas kurang lebih 1.500 meter persegi. Sekolah yang terletak di pinggiran Kota Medan itu dibangun sebagai bentuk realisasi dari mimpi seorang Sofyan Tan. Jika Martin Luther King di Amerika Serikat bermimpi suatu saat warga kulit hitam bisa punya hak-hak yang setara dengan warga kulit putih lain, mimpi pendiri Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda kala itu adalah agar suatu saat anak-anak miskin bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang bermutu.
Keberadaan dan konsep yang diterapkan di sekolah itu mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim memuji Sekolah Sultan Iskandar Muda tersebut sebagai simbol kebinekaan yang sangat menginspirasi. ’’Saya lihat di sini ada wihara, pura, gereja, dan masjid. Semuanya menjadi simbol kebhinekaan,’’ ujarnya saat berkunjung ke sekolah itu beberapa waktu lalu.
Seelengkapnya: https://www.jawapos.com/nasional/15/08/2022/sekolah-sekolah-yang-merawat-keberagaman-dan-kepedulian-khas-indonesia/