REMPEYEK, “KUASA” MINYAK GORENG DAN SAWERAN IKN
Berita Warga

Apa hubungan rempeyek dengan minyak goreng ? Tentu ada, rempeyek menjadi salah satu jenis makanan yang proses pembuatannya tidak bisa direbus atau dikukus, tapi hanya bisa dilakukan dengan cara digoreng menggunakan minyak goreng. Jika ada kerupuk yang bisa digoreng dengan pasir, maka tidak demikian halnya dengan rempeyek.
Kenapa rempeyek ? tulisan ini bermula dari kejadian di warung nasi yang berlokasi di Jember. Minggu pagi (27/03/22) saat mengantri untuk membeli nasi, saya mendengarkan percakapan antara pembeli yang seorang ibu dengan pemilik warung. Pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli rempeyek karena harganya naik 100% dari harga biasanya, harga rempeyek yang sebelum minyak goreng mahal adalah seribu rupiah (Rp. 1000) perbungkusnya menjadi dua ribu rupiah (Rp. 2000). Menurut pemilik warung, harga rempeyek naik karena mahalnya minyak goreng.
Kejadian di warung nasi tersebut mengambarkan bagaimana minyak goreng “berkuasa” mempengaruhi daya beli masyarakat ditingkat bawah, yang tidak mungkin dialami oleh mereka yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Bukan hanya pembeli yang terdampak, tapi juga produsen rempeyek yang harus menaikkan harga jual sehingga dapat berpotensi berkurangnya pembeli.
Kuasa minyak goreng tidak hanya tampak pada cerita tentang rempeyek di warung nasi tadi, tapi juga dalam hal lain. Polemik kelangkaan dan selanjutnya mahalnya minyak goreng mampu membuat masyarakat banyak belajar dari Partai Politik, Tokoh Partai, dan Pemerintah tentang konsep “keberpihakan” kepada masyarakat. Keberpihakan dalam arti pengutamaan menyelesaikan persoalan-persoalan esensial yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Dari Partai Politik masyarakat “belajar” bahwa partai politik mampu melakukan banyak hal untuk menarik atau menyentuh hati voters (pemilih), termasuk “menghadirkan” minyak goreng yang tengah langka. Sekalipun juga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti dari mana asal minyak goreng dan kemungkinan turut andil sebagai penyebab kelangkaan. Adapun dari Tokoh Partai masyarakat belajar tentang arti keberpihakan kepada “Wong Cilik” serta teknik memasak selain menggoreng. Dan terakhir, dari Pemerintah masyarakat belajar tentang konsep saweran Ibu Kota Baru (IKN) ditengah carut marut persoalan minyak goreng.
Kuasa minyak goreng harusnya dapat segera diatasi jika prioritas “keberpihakan” benar-benar ditujukan untuk masyarakat dari ekonomi menengah kebawah, terutama para ibu (perempuan).
"Kenapa Ibu ? Karena tugas memasak dan mengolah makanan di masyarakat yang masih patriarkis pada umumnya adalah TUGAS perempuan. Sehingga saat minyak goreng langka maka yang bingung kebanyakan adalah para ibu. Semoga “keberpihakan” segera kembali ke masyarakat, sehingga kuasa minyak goreng dapat segera diakhiri. #salamoptimis
Kenapa rempeyek ? tulisan ini bermula dari kejadian di warung nasi yang berlokasi di Jember. Minggu pagi (27/03/22) saat mengantri untuk membeli nasi, saya mendengarkan percakapan antara pembeli yang seorang ibu dengan pemilik warung. Pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli rempeyek karena harganya naik 100% dari harga biasanya, harga rempeyek yang sebelum minyak goreng mahal adalah seribu rupiah (Rp. 1000) perbungkusnya menjadi dua ribu rupiah (Rp. 2000). Menurut pemilik warung, harga rempeyek naik karena mahalnya minyak goreng.
Kejadian di warung nasi tersebut mengambarkan bagaimana minyak goreng “berkuasa” mempengaruhi daya beli masyarakat ditingkat bawah, yang tidak mungkin dialami oleh mereka yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Bukan hanya pembeli yang terdampak, tapi juga produsen rempeyek yang harus menaikkan harga jual sehingga dapat berpotensi berkurangnya pembeli.
Kuasa minyak goreng tidak hanya tampak pada cerita tentang rempeyek di warung nasi tadi, tapi juga dalam hal lain. Polemik kelangkaan dan selanjutnya mahalnya minyak goreng mampu membuat masyarakat banyak belajar dari Partai Politik, Tokoh Partai, dan Pemerintah tentang konsep “keberpihakan” kepada masyarakat. Keberpihakan dalam arti pengutamaan menyelesaikan persoalan-persoalan esensial yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Dari Partai Politik masyarakat “belajar” bahwa partai politik mampu melakukan banyak hal untuk menarik atau menyentuh hati voters (pemilih), termasuk “menghadirkan” minyak goreng yang tengah langka. Sekalipun juga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti dari mana asal minyak goreng dan kemungkinan turut andil sebagai penyebab kelangkaan. Adapun dari Tokoh Partai masyarakat belajar tentang arti keberpihakan kepada “Wong Cilik” serta teknik memasak selain menggoreng. Dan terakhir, dari Pemerintah masyarakat belajar tentang konsep saweran Ibu Kota Baru (IKN) ditengah carut marut persoalan minyak goreng.
Kuasa minyak goreng harusnya dapat segera diatasi jika prioritas “keberpihakan” benar-benar ditujukan untuk masyarakat dari ekonomi menengah kebawah, terutama para ibu (perempuan).
"Kenapa Ibu ? Karena tugas memasak dan mengolah makanan di masyarakat yang masih patriarkis pada umumnya adalah TUGAS perempuan. Sehingga saat minyak goreng langka maka yang bingung kebanyakan adalah para ibu. Semoga “keberpihakan” segera kembali ke masyarakat, sehingga kuasa minyak goreng dapat segera diakhiri. #salamoptimis