Ragam Nusantara: Upacara Adat Cing-Cing Goling
Berita Warga 
Upacara Adat Cing-Cing Goling terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda Yogyakarta untuk Kategori: Upacara Adat, Ritus, Upacara Tradisional Kabupaten Gunung Kidul dengan Nomor: 129245/MPK.F/KB/2020
Upacara tradisi Cingcing Goling merupakan sebuah upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarkat Desa Gedangan. Kisah diadakannya upacara ini adalah ketika Raden Wisang sanjaya melarikan atau meloloskan diri dari Majapahit disertai istri dan dua abdinya.
Sampai di daerah Gedangan, mereka dirampok oleh para brandalan namun ketika melihat para istri Wisang sanjaya menarik perhatian, maka tujuan para perompak berubah dan melakukan pengejaran kepada Istri Wisang Sanjaya. Nyai Wisang Sanjaya berlari sambil menyingkapkan kainnya (cincing) agar dapat berlari kencang.
Namun demikian, justru kondisi seperti itulah yang kemudian membuat para pemuda brandhalan tadi menjadi semakin bergairah tatkala menyaksikan betis yang mulus, bersih, dan putih dari istri Kyai Wisang Sanjaya yang tampak karena kainnya telah tersingkap.
Sedangkan kata nggoling di sini bermakna para pemuda brandhalan tadi tergiur hati atau imannya kurang tabah dalam mengendalikan nafsu syahwatnya. Di akhir cerita, tanpa mengubah makna semantiknya, istilah cincing lan nggoling ini kemudian berubah menjadi cing-cing goling.
Waktu Pelaksanaan
Upacara ini dilaksanakan setiap setahun sekali pada pasca panen pertanian/padi yang ke dua (musim kedua). Rangkaian upacara pembuatan sesaji, melakukan pertunjukan cing-cing goling, ke situs meletakkan sesaji dan melakukan doa bersama.
Nilai dan Fungsi
Upacara ini ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada sesepuh desa setempat yang merupakan keluarga bangsawan dari kerajaan Majaphit. Di samping itu juga merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahi panen pertanian kepada masyarakat setempat. pertaniannya
Sumber: Warisan Budaya Tak Benda Yogyakarta (wbtbdiy.com)
Upacara tradisi Cingcing Goling merupakan sebuah upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarkat Desa Gedangan. Kisah diadakannya upacara ini adalah ketika Raden Wisang sanjaya melarikan atau meloloskan diri dari Majapahit disertai istri dan dua abdinya.
Sampai di daerah Gedangan, mereka dirampok oleh para brandalan namun ketika melihat para istri Wisang sanjaya menarik perhatian, maka tujuan para perompak berubah dan melakukan pengejaran kepada Istri Wisang Sanjaya. Nyai Wisang Sanjaya berlari sambil menyingkapkan kainnya (cincing) agar dapat berlari kencang.
Namun demikian, justru kondisi seperti itulah yang kemudian membuat para pemuda brandhalan tadi menjadi semakin bergairah tatkala menyaksikan betis yang mulus, bersih, dan putih dari istri Kyai Wisang Sanjaya yang tampak karena kainnya telah tersingkap.
Sedangkan kata nggoling di sini bermakna para pemuda brandhalan tadi tergiur hati atau imannya kurang tabah dalam mengendalikan nafsu syahwatnya. Di akhir cerita, tanpa mengubah makna semantiknya, istilah cincing lan nggoling ini kemudian berubah menjadi cing-cing goling.
Waktu Pelaksanaan
Upacara ini dilaksanakan setiap setahun sekali pada pasca panen pertanian/padi yang ke dua (musim kedua). Rangkaian upacara pembuatan sesaji, melakukan pertunjukan cing-cing goling, ke situs meletakkan sesaji dan melakukan doa bersama.
Nilai dan Fungsi
Upacara ini ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada sesepuh desa setempat yang merupakan keluarga bangsawan dari kerajaan Majaphit. Di samping itu juga merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahi panen pertanian kepada masyarakat setempat. pertaniannya
Sumber: Warisan Budaya Tak Benda Yogyakarta (wbtbdiy.com)
