Ragam Nusantara: Lima Jenis Kebaya yang Pernah dan Masih Digunakan di Pulau Jawa
Berita Warga
Abaya ala Timur Tengah dan kebaya ala Nusantara sering disebut memiliki keterkaitan. Konon keterkaitan itu ialah dalam soal asal-usul bentuk maupun asal-usul penyebutan.
Namun, nyatanya versi arustama abaya dan versi arustama kebaya punya perbedaan elementer yang kasatmata. Abaya lebih kentara keterkaitannya dengan apa yang di Nusantara disebut sebagai baju kurung, yakni tak memiliki bagian bukaan di bagian depannya. Kebaya sebaliknya memiliki pemisah belahan kain di bagian depan dada dan disatukan dengan kancing maupun peniti. Demikianlah sedikit penjelasan perihal ciri mendasar kebaya oleh Brilliant Hidayah dalam Budaya Peranakan: Sejarah dan Budayanya (2018).
Berikut ini jenis-jenis kebaya yang pernah dan masih dipergunakan wanita di Pulau Jawa:
1. Kebaya Labuh
Kebaya yang berkembang 700 tahun lalu di Sumatera bagian Utara dan Semenanjung Malaka pada masa kejayaan Kasultanan Samudera Pasai. Kebaya ini berbentuk baju panjang dengan lengan longgar yang diadopsi dari abaya bangsa Arab, yang dipadukan dengan songket.
2. Kebaya Encim/Nyonya
Kebaya ini berkembang seiring gelombang imigrasi penduduk Tionghoa pada 600 tahun lalu. Uniknya, para imigran Tionghoa yang datang berdagang ke Asia Tenggara (termasuk Jawa) tidak membawa istri. Untuk mengobati kerinduan dan kebutuhannya, kebanyakan pria Tionghoa ini kemudian memperistri wanita dari penduduk pribumi setempat yang saat itu menggunakan kebaya sebagai busana sehari-hari. Para istri ini lantas mendapatkan banyak pengetahuan tentang sulam dan bordir yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk berbagai motif-motif Tionghoa pada kebaya. Mereka juga menggunakan aksesoris krosang (peniti bermotif) dan batik pesisiran sebagai pelengkap busananya.
3. Kebaya Nonik
Kebaya ini berkembang sejak bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara (termasuk Jawa) sekitar 500 tahun lalu. Kebaya ini tidak banyak warna dan lebih panjang daripada kebaya Encim. Menariknya, kebaya ini menggunakan metode kancing bungkus dan dipadukan dengan batik yang motifnya sesuai dengan pekerjaan suaminya. Misalnya batik motif soldier (prajurit) karena suaminya seorang prajurit atau motif kawung/parang karena suaminya diperkenankan bekerja di kraton dan diijinkan menggunakan motif tersebut. Penggunaan busana semacam ini menggambarkan bahwa istri adalah cermin dari suaminya. Selain itu, munculnya kebaya ini juga dikarenakan wanita Eropa (noni) mau disejajarkan dengan puteri Kraton dan tidak mau disejajarkan dengan nyai.
4. Kebaya Kraton
Kebaya Kraton (Yogyakarta/Surakarta) memiliki bentuk yang hampir mirip dengan kebaya labuh. Hanya saja, kebaya Labuh memiliki ujung bawah (katin) berbentuk lancip, sedangkan kebaya kraton katin-nya berbentuk oval. Selain itu, kebaya Labuh lebih longgar dibandingkan kebaya kraton yang cenderung pas dengan ukuran badan pemakainya. Hal ini mungkin diakibatkan kraton-kraton di Jawa pada khususnya terinspirasi dengan Abaya Arab.
5. Kebaya Kutubaru
Kebaya ini memiliki tambahan kain di bagian tengah sebagai penghubung sisi kiri serta kanan yang terletak di bagian dada. Dalam pemakaiannya, kebaya Kutubaru biasanya ditambahkan stagen (kain yang dililitkan pada bagian perut wanita), agar wanita terlihat lebih langsing, sekaligus menguatkan siluet feminin karena digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Kebaya ini terinspirasi dari kain sari di India. Kebaya ini banyak digunakan oleh orang Jawa peranakan sebagai simbol wanita pergerakan karena pemakainya tidak mengenal marga dan filosofi batik.
Penulis: RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
Selengkapnya bisa dibaca di: http://ullensentalu.com/kajian/lima-jenis-kebaya-yang-pernah-dan-masih-digunakan-di-pulau-jawa
Namun, nyatanya versi arustama abaya dan versi arustama kebaya punya perbedaan elementer yang kasatmata. Abaya lebih kentara keterkaitannya dengan apa yang di Nusantara disebut sebagai baju kurung, yakni tak memiliki bagian bukaan di bagian depannya. Kebaya sebaliknya memiliki pemisah belahan kain di bagian depan dada dan disatukan dengan kancing maupun peniti. Demikianlah sedikit penjelasan perihal ciri mendasar kebaya oleh Brilliant Hidayah dalam Budaya Peranakan: Sejarah dan Budayanya (2018).
Berikut ini jenis-jenis kebaya yang pernah dan masih dipergunakan wanita di Pulau Jawa:
1. Kebaya Labuh
Kebaya yang berkembang 700 tahun lalu di Sumatera bagian Utara dan Semenanjung Malaka pada masa kejayaan Kasultanan Samudera Pasai. Kebaya ini berbentuk baju panjang dengan lengan longgar yang diadopsi dari abaya bangsa Arab, yang dipadukan dengan songket.
2. Kebaya Encim/Nyonya
Kebaya ini berkembang seiring gelombang imigrasi penduduk Tionghoa pada 600 tahun lalu. Uniknya, para imigran Tionghoa yang datang berdagang ke Asia Tenggara (termasuk Jawa) tidak membawa istri. Untuk mengobati kerinduan dan kebutuhannya, kebanyakan pria Tionghoa ini kemudian memperistri wanita dari penduduk pribumi setempat yang saat itu menggunakan kebaya sebagai busana sehari-hari. Para istri ini lantas mendapatkan banyak pengetahuan tentang sulam dan bordir yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk berbagai motif-motif Tionghoa pada kebaya. Mereka juga menggunakan aksesoris krosang (peniti bermotif) dan batik pesisiran sebagai pelengkap busananya.
3. Kebaya Nonik
Kebaya ini berkembang sejak bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara (termasuk Jawa) sekitar 500 tahun lalu. Kebaya ini tidak banyak warna dan lebih panjang daripada kebaya Encim. Menariknya, kebaya ini menggunakan metode kancing bungkus dan dipadukan dengan batik yang motifnya sesuai dengan pekerjaan suaminya. Misalnya batik motif soldier (prajurit) karena suaminya seorang prajurit atau motif kawung/parang karena suaminya diperkenankan bekerja di kraton dan diijinkan menggunakan motif tersebut. Penggunaan busana semacam ini menggambarkan bahwa istri adalah cermin dari suaminya. Selain itu, munculnya kebaya ini juga dikarenakan wanita Eropa (noni) mau disejajarkan dengan puteri Kraton dan tidak mau disejajarkan dengan nyai.
4. Kebaya Kraton
Kebaya Kraton (Yogyakarta/Surakarta) memiliki bentuk yang hampir mirip dengan kebaya labuh. Hanya saja, kebaya Labuh memiliki ujung bawah (katin) berbentuk lancip, sedangkan kebaya kraton katin-nya berbentuk oval. Selain itu, kebaya Labuh lebih longgar dibandingkan kebaya kraton yang cenderung pas dengan ukuran badan pemakainya. Hal ini mungkin diakibatkan kraton-kraton di Jawa pada khususnya terinspirasi dengan Abaya Arab.
5. Kebaya Kutubaru
Kebaya ini memiliki tambahan kain di bagian tengah sebagai penghubung sisi kiri serta kanan yang terletak di bagian dada. Dalam pemakaiannya, kebaya Kutubaru biasanya ditambahkan stagen (kain yang dililitkan pada bagian perut wanita), agar wanita terlihat lebih langsing, sekaligus menguatkan siluet feminin karena digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Kebaya ini terinspirasi dari kain sari di India. Kebaya ini banyak digunakan oleh orang Jawa peranakan sebagai simbol wanita pergerakan karena pemakainya tidak mengenal marga dan filosofi batik.
Penulis: RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
Selengkapnya bisa dibaca di: http://ullensentalu.com/kajian/lima-jenis-kebaya-yang-pernah-dan-masih-digunakan-di-pulau-jawa