Ondrowino Manten Jawa di bumi Reksa
Berita Warga

Pernikahan adat Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang di dalam tradisinya memiliki nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa.
Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur, bahkan makna sosial. Yang mana tradisi ini sudah ada sejak zaman kuno saat kepercayaan masyarakat Jawa masih animisme-dinamisme dan tradisi-tradisi Jawa di masa lampau.
Dalam arti sempit, tradisi pernikahan jawa adalah upacara sakral yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi pernikahan Jawa tersebut khas dengan adanya banyak acara adat yang dibuat dan sejatinya dilaksanakan secara benar berdasarkan makna dan tujuan berbeda satu sama lain. Dalam rangka melaksanakan pesan leluhur mereka.
Bahkan dalam pernikahan adat jawa tradisi sesaji masih diikut sertakan pula karena menjadi proses yang dilakukan sebagai bagian dari upacara adat. Oleh masyarakat modern hal itu dianggap polemik karena klenik, mistik, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang di anggap miring atau negatif.
Hanya ada beberapa saja yang menganggap sesaji dalam upacara adat pernikahan adalah sebagai manifestasi lain dari sebuah doa.
Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan upacara yang diselenggarakan, salah satunya sesaji dalam pernikahan adat Jawa. Di dalam sesaji pernikahan sendiri ada empat jenis sesaji, yaitu: sesaji pasang tarub, sesaji siraman, sesaji midodareni, sesaji panggih atau temu manten dll.
Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda hidup, liku-liku dan naik turun kehidupan manusia dari lahir hingga kematian.
Bahkan dalam puncak acara pernikahan jawa bisa saja ada acara Kembul Bujono Ondrowino sebagai kata lain resepsi dalam makna bahasa jawa yang lebih hebring. Penulis sedikit akan bergeser bukan pada sesaji manten dan ondrowinonya tetapi kepada mengapa partisipasi kaum muda / kekinian yang millenial ini rendah terhadap acara pernikahan adat jawa ?
Seperti kita tahu bahwa pada kenyataannya tradisi pernikahan jawa di masyarakat bersifat religius dan kedaerahan kini telah bergeser banyak. Jika dilihat pada pijakan hidup masyarakat Jawa yang terdiri dari:
Dhama (kewajiban), Harta (kekayaan), Kama (asmara), dan Moksa (hilang),
Upacara pernikahan zaman sekarang seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Bahkan penulis beberapa kali mengalami ketidak sesuaian dalam pernikahan jawa, ada beberapa bagian acara penting tidak ada karena terbatasnya sumber daya pelaku acara adat tersebut. Para kaum muda masih mengganggap bahwa (lurah,dukuh, kepala adat & tokoh masyarakat) adalah pelaku adat dalam pernikahan jawa. Tetapi mereka sendiri sebetulnya kelak juga harus mampu mengganti peran mereka pada saatnya nanti. Sehingga ruang ini di era modern kiranya menjadi sebuah kesempatan kaum muda belajar menjadi bagian dalam acara pernikahan jawa itu. Tidak serta merta ketika ada upacara manten kepingin cepet selesai untuk alasan klasik _dirampet ben lek cepet rampung mergo arep ngarit_.
Apakah itu bisa dimaknai telah memenuhi secara adat jawa. Mungkin saja pernikahan Jawa di zaman modern ini merupakan representasi kehidupan msyarakat yang serba modern, materialistik, instan, dan tidak menganggap penting religi lokal dan kedaerahan.
Keadaan yang demikian sesungguhnya telah menambah persoalan dari segi budaya, dan juga religi. Dari segi budaya, resepsi pernikahan dan segala macamnya itu lebih mengutamakan budaya masa kini dan mengesampingkan budaya Jawa. Sedangkan dari segi religi, pernikahan yang dilakukan telah menghilangkan atau mengabaikan tradisi masyarakat Jawa.
Kaum muda harus melihat kembali representasi nilai sakral dalam pernikahan jawa, karena selain wujud lain dari doa syukur dan permohonan kelancaran, masyarakat Jawa juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaannya sendiri untuk kita teruskan kepada anak cucu kita.
Red
#gowokdesakebonharjo
Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur, bahkan makna sosial. Yang mana tradisi ini sudah ada sejak zaman kuno saat kepercayaan masyarakat Jawa masih animisme-dinamisme dan tradisi-tradisi Jawa di masa lampau.
Dalam arti sempit, tradisi pernikahan jawa adalah upacara sakral yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi pernikahan Jawa tersebut khas dengan adanya banyak acara adat yang dibuat dan sejatinya dilaksanakan secara benar berdasarkan makna dan tujuan berbeda satu sama lain. Dalam rangka melaksanakan pesan leluhur mereka.
Bahkan dalam pernikahan adat jawa tradisi sesaji masih diikut sertakan pula karena menjadi proses yang dilakukan sebagai bagian dari upacara adat. Oleh masyarakat modern hal itu dianggap polemik karena klenik, mistik, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang di anggap miring atau negatif.
Hanya ada beberapa saja yang menganggap sesaji dalam upacara adat pernikahan adalah sebagai manifestasi lain dari sebuah doa.
Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan upacara yang diselenggarakan, salah satunya sesaji dalam pernikahan adat Jawa. Di dalam sesaji pernikahan sendiri ada empat jenis sesaji, yaitu: sesaji pasang tarub, sesaji siraman, sesaji midodareni, sesaji panggih atau temu manten dll.
Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda hidup, liku-liku dan naik turun kehidupan manusia dari lahir hingga kematian.
Bahkan dalam puncak acara pernikahan jawa bisa saja ada acara Kembul Bujono Ondrowino sebagai kata lain resepsi dalam makna bahasa jawa yang lebih hebring. Penulis sedikit akan bergeser bukan pada sesaji manten dan ondrowinonya tetapi kepada mengapa partisipasi kaum muda / kekinian yang millenial ini rendah terhadap acara pernikahan adat jawa ?
Seperti kita tahu bahwa pada kenyataannya tradisi pernikahan jawa di masyarakat bersifat religius dan kedaerahan kini telah bergeser banyak. Jika dilihat pada pijakan hidup masyarakat Jawa yang terdiri dari:
Dhama (kewajiban), Harta (kekayaan), Kama (asmara), dan Moksa (hilang),
Upacara pernikahan zaman sekarang seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Bahkan penulis beberapa kali mengalami ketidak sesuaian dalam pernikahan jawa, ada beberapa bagian acara penting tidak ada karena terbatasnya sumber daya pelaku acara adat tersebut. Para kaum muda masih mengganggap bahwa (lurah,dukuh, kepala adat & tokoh masyarakat) adalah pelaku adat dalam pernikahan jawa. Tetapi mereka sendiri sebetulnya kelak juga harus mampu mengganti peran mereka pada saatnya nanti. Sehingga ruang ini di era modern kiranya menjadi sebuah kesempatan kaum muda belajar menjadi bagian dalam acara pernikahan jawa itu. Tidak serta merta ketika ada upacara manten kepingin cepet selesai untuk alasan klasik _dirampet ben lek cepet rampung mergo arep ngarit_.
Apakah itu bisa dimaknai telah memenuhi secara adat jawa. Mungkin saja pernikahan Jawa di zaman modern ini merupakan representasi kehidupan msyarakat yang serba modern, materialistik, instan, dan tidak menganggap penting religi lokal dan kedaerahan.
Keadaan yang demikian sesungguhnya telah menambah persoalan dari segi budaya, dan juga religi. Dari segi budaya, resepsi pernikahan dan segala macamnya itu lebih mengutamakan budaya masa kini dan mengesampingkan budaya Jawa. Sedangkan dari segi religi, pernikahan yang dilakukan telah menghilangkan atau mengabaikan tradisi masyarakat Jawa.
Kaum muda harus melihat kembali representasi nilai sakral dalam pernikahan jawa, karena selain wujud lain dari doa syukur dan permohonan kelancaran, masyarakat Jawa juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaannya sendiri untuk kita teruskan kepada anak cucu kita.
Red
#gowokdesakebonharjo