Meraba Jenis Kelamin "Suami"
Berita Warga

Hari Rabu tanggal 13 Januari 2022 Komunitas Jurnalis Warga Suwar Suwir Jember mengadakan Training Jurnalis Warga. Peserta training berasal dari beragam unsur, ada dari pegiat sosial, guru, ibu rumah tangga, dan aktivis perempuan. Ada yang menarik dari diskusi sesi pertama yang dipandu oleh Ibu Suminah, beliau memberikan paparan materi tentang Seks dan Gender.
Kejadian menarik terjadi saat Ibu Suminah meminta peserta mengidentifikasi mana yg termasuk dalam kategori seks dan gender. Secara umum pada saat peserta diminta mengidentifikasi laki-laki dan perempuan maka yang terjadi adalah ketidakjelasan antara seks dan gender, adakalanya yang seharusnya masuk kategori gender (jenis kelamin sosial) dianggap sebagai kategori seks (jenis kelamin biologis), seperti contoh ketika kita diminta mendeskripsikan laki-laki maka yang muncul adalah penis, kuat, pemberani, pemimpin, dan sebagainya. Demikian pula saat diminta mendeskripsikan perempuan, maka yang muncul adalah hamil, lemah, lembut, emosional dan seterusnya. Namun ketidakjelasan tersebut dapat segera teratasi setelah pemateri (Ibu Suminah) mulai mengelompokkan setiap deskripsi yang muncul ke masing-masing kategori seks dan gender. Contoh, untuk penis dan hamil masuk kategori seks (jenis kelamin biologis) yang merupakan kodrat Tuhan dan tidak dapat dipertukarkan. Kemudian untuk pemberani, kuat pemimpin, emosional, lemah, lembut masuk kategori gender (jenis kelamin sosial) karena merupakan konstruk sosial dan yang jelas dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Namun, kebingungan dan perdebatan seru terjadi, yaitu pada saat ada peserta yang mengidentifikasi laki-laki sebagai suami, dan akan memasukkan kata “suami” ke kategori seks atau gender. Menurut Mbak Nurul, yang menjadi peserta, suami itu masuk ke kategori seks, karena laki-laki yang menikah pasti akan menjadi suami. Dan pendapat ini juga didukung oleh sebagian peserta lainnya yang memiliki pemikiran yang sama, bahwa kata “suami” itu melekat kepada laki-laki sehingga tidak dapat dipertukarkan. Menariknya, ada pemikiran dari peserta lain yang berbeda dengan sebelumnya, seperti apa yang disampaikan oleh Pak Roni bahwa laki-laki itu masuk kategori gender karena yang dilihat adalah perannya, bukan “alat/bendanya”.
Sesi tersebut benar-benar menarik, karena tanpa disadari bahwa semua yang hadir dalam pelatihan larut meraba jenis kelamin “suami”. Dari diskusi tersebut, saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Roni (peserta pelatihan) bahwa kata “suami” masuk dalam kategori gender. Dasar pendapat saya adalah, pertama: Jika suami dilihat dari aspek perannya, yaitu sebagai pencari nafkah, kepala keluarga (dalam arti menjadi penentu dalam menyelesaikan masalah, dll) maka suami bukan hanya domain laki-laki. Artinya, banyak perempuan yang menjalankan peran sebagai “suami”, hal ini dapat kita lihat di masyarakat. Kedua: dalam realitas sosial kita harus akui adanya hubungan suami isteri yang dilakukan oleh sesama jenis, baik perempuan dengan perempuan (lesbian), maupun laki-laki dengan laki-laki (gay). Terlepas dari hukum atau bagaimana pandangan agama, atau terlepas dari setuju atau tidaknya kita, tapi dalam konteks ini “suami” tidak selalu berjenis kelamin laki-laki. Dalam konteks hubungan lesbian, “suami” tentu seorang perempuan, dan demikian juga dalam konteks hubungan gay, “isteri” adalah laki-laki. Artinya “suami” (ataupun “isteri”) dapat dipertukarkan, oleh sebab itu maka kata ""suami" ini masuk dalam kategori gender, bukan seks. Pendapat saya ini tentu tidak mutlak, diskusi ataupun perdebatan masih sangat terbuka, semua orang berhak punya pendapat dan menyatakannya. Bagi peserta yang sepakat dengan argumentasi ini, maka proses meraba jenis kelamin "suami" berakhir, tapi bagi peserta yang tidak sependapat atau masih bingung, maka proses meraba jenis kelamin "suami" masih berlanjut.
Kejadian menarik terjadi saat Ibu Suminah meminta peserta mengidentifikasi mana yg termasuk dalam kategori seks dan gender. Secara umum pada saat peserta diminta mengidentifikasi laki-laki dan perempuan maka yang terjadi adalah ketidakjelasan antara seks dan gender, adakalanya yang seharusnya masuk kategori gender (jenis kelamin sosial) dianggap sebagai kategori seks (jenis kelamin biologis), seperti contoh ketika kita diminta mendeskripsikan laki-laki maka yang muncul adalah penis, kuat, pemberani, pemimpin, dan sebagainya. Demikian pula saat diminta mendeskripsikan perempuan, maka yang muncul adalah hamil, lemah, lembut, emosional dan seterusnya. Namun ketidakjelasan tersebut dapat segera teratasi setelah pemateri (Ibu Suminah) mulai mengelompokkan setiap deskripsi yang muncul ke masing-masing kategori seks dan gender. Contoh, untuk penis dan hamil masuk kategori seks (jenis kelamin biologis) yang merupakan kodrat Tuhan dan tidak dapat dipertukarkan. Kemudian untuk pemberani, kuat pemimpin, emosional, lemah, lembut masuk kategori gender (jenis kelamin sosial) karena merupakan konstruk sosial dan yang jelas dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Namun, kebingungan dan perdebatan seru terjadi, yaitu pada saat ada peserta yang mengidentifikasi laki-laki sebagai suami, dan akan memasukkan kata “suami” ke kategori seks atau gender. Menurut Mbak Nurul, yang menjadi peserta, suami itu masuk ke kategori seks, karena laki-laki yang menikah pasti akan menjadi suami. Dan pendapat ini juga didukung oleh sebagian peserta lainnya yang memiliki pemikiran yang sama, bahwa kata “suami” itu melekat kepada laki-laki sehingga tidak dapat dipertukarkan. Menariknya, ada pemikiran dari peserta lain yang berbeda dengan sebelumnya, seperti apa yang disampaikan oleh Pak Roni bahwa laki-laki itu masuk kategori gender karena yang dilihat adalah perannya, bukan “alat/bendanya”.
Sesi tersebut benar-benar menarik, karena tanpa disadari bahwa semua yang hadir dalam pelatihan larut meraba jenis kelamin “suami”. Dari diskusi tersebut, saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Roni (peserta pelatihan) bahwa kata “suami” masuk dalam kategori gender. Dasar pendapat saya adalah, pertama: Jika suami dilihat dari aspek perannya, yaitu sebagai pencari nafkah, kepala keluarga (dalam arti menjadi penentu dalam menyelesaikan masalah, dll) maka suami bukan hanya domain laki-laki. Artinya, banyak perempuan yang menjalankan peran sebagai “suami”, hal ini dapat kita lihat di masyarakat. Kedua: dalam realitas sosial kita harus akui adanya hubungan suami isteri yang dilakukan oleh sesama jenis, baik perempuan dengan perempuan (lesbian), maupun laki-laki dengan laki-laki (gay). Terlepas dari hukum atau bagaimana pandangan agama, atau terlepas dari setuju atau tidaknya kita, tapi dalam konteks ini “suami” tidak selalu berjenis kelamin laki-laki. Dalam konteks hubungan lesbian, “suami” tentu seorang perempuan, dan demikian juga dalam konteks hubungan gay, “isteri” adalah laki-laki. Artinya “suami” (ataupun “isteri”) dapat dipertukarkan, oleh sebab itu maka kata ""suami" ini masuk dalam kategori gender, bukan seks. Pendapat saya ini tentu tidak mutlak, diskusi ataupun perdebatan masih sangat terbuka, semua orang berhak punya pendapat dan menyatakannya. Bagi peserta yang sepakat dengan argumentasi ini, maka proses meraba jenis kelamin "suami" berakhir, tapi bagi peserta yang tidak sependapat atau masih bingung, maka proses meraba jenis kelamin "suami" masih berlanjut.