Mengikis Stigma terhadap Disabilitas di Media
Community Discussion

Stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas adalah problem akut di media kita. Kurangnya literasi dan inklusi di ruang produksi jadi akar masalahnya.
Di Indonesia, penyandang disabilitas adalah menjadi kelompok marjinal bukan hanya karena minoritas secara jumlah, tetapi juga karena terpinggirkan di ruang publik. Salah satu ruang publik tersebut adalah media. Bukan rahasia bahwa media kita minim perhatian pada isu disabilitas. Pun ketika disabilitas jadi atensi, penggambaran media seringkali mempertebal stigma masyarakat.
Misalnya saja ketika media ramai-ramai memberitakan Menteri Sosial Risma memaksa seorang Tuli bicara beberapa waktu lalu, media hanya memberatkan fokusnya pada sikap sensasional pejabat. Pemberitaan tersebut mengkonfirmasi diagnosis Roy Thaniago, dalam artikel di Remotivi, bahwa media punya dua penyakit akut dalam menampilkan isu disabilitas: underrepresentation alias representasi yang minim dan misrepresentation alias representasi yang salah.
Terkait misrepresentation, seorang disabilitas netra yang menjadi informan penelitian Nastiti (2013: 37) berkomentar bahwa disabilitas dipotret media layaknya “monyet sirkus,” sebuah objek tontonan yang mendulang perhatian, rasa kasihan, dan tepuk tangan. Informan lain menyebut bahwa media terjebak pada oposisi biner: memotret penyandang disabilitas sebagai objek tak berdaya yang mengundang iba (underestimation), atau sebagai objek heroik sumber inspirasi (overexpectation).
Media cenderung melihat melalui lensa hitam-putih — memperlakukan disabilitas sebagai objek kesenangan atau kesedihan, bukan sebagai manusia utuh. Akibatnya, media gagal memanusiakan penyandang disabilitas, apalagi mengadvokasi isu disabilitas. Padahal, seperti halnya aksesibilitas di fasilitas umum, inklusivitas di media juga jadi variabel penting untuk mendukung kehidupan penyandang disabilitas. Jika demikian, kita patut mempertanyakan apa yang menyebabkan kegagalan media memotret disabilitas secara adil?
Di Indonesia, penyandang disabilitas adalah menjadi kelompok marjinal bukan hanya karena minoritas secara jumlah, tetapi juga karena terpinggirkan di ruang publik. Salah satu ruang publik tersebut adalah media. Bukan rahasia bahwa media kita minim perhatian pada isu disabilitas. Pun ketika disabilitas jadi atensi, penggambaran media seringkali mempertebal stigma masyarakat.
Misalnya saja ketika media ramai-ramai memberitakan Menteri Sosial Risma memaksa seorang Tuli bicara beberapa waktu lalu, media hanya memberatkan fokusnya pada sikap sensasional pejabat. Pemberitaan tersebut mengkonfirmasi diagnosis Roy Thaniago, dalam artikel di Remotivi, bahwa media punya dua penyakit akut dalam menampilkan isu disabilitas: underrepresentation alias representasi yang minim dan misrepresentation alias representasi yang salah.
Terkait misrepresentation, seorang disabilitas netra yang menjadi informan penelitian Nastiti (2013: 37) berkomentar bahwa disabilitas dipotret media layaknya “monyet sirkus,” sebuah objek tontonan yang mendulang perhatian, rasa kasihan, dan tepuk tangan. Informan lain menyebut bahwa media terjebak pada oposisi biner: memotret penyandang disabilitas sebagai objek tak berdaya yang mengundang iba (underestimation), atau sebagai objek heroik sumber inspirasi (overexpectation).
Media cenderung melihat melalui lensa hitam-putih — memperlakukan disabilitas sebagai objek kesenangan atau kesedihan, bukan sebagai manusia utuh. Akibatnya, media gagal memanusiakan penyandang disabilitas, apalagi mengadvokasi isu disabilitas. Padahal, seperti halnya aksesibilitas di fasilitas umum, inklusivitas di media juga jadi variabel penting untuk mendukung kehidupan penyandang disabilitas. Jika demikian, kita patut mempertanyakan apa yang menyebabkan kegagalan media memotret disabilitas secara adil?