Menghilangkan "Perkosaan" Dengan Menikah
Berita Warga

Hidup damai dalam rumah tangga merupakan impian yang mesti diwujudkan oleh suami isteri yang sedang menjalani hidup bersama dalam ikatan yang sah menurut hukum negara dan agama. Upaya menghindari sejauh mungkin terjadinya kekerasan dalam rumah tangga secara fisik maupun psikis, seperti rasa kurang aman tinggal di rumah sendiri bagi isteri, merupakan suatu hal yang mesti diupayakan.
Kekerasan terhadap istri bahkan mendominasi kekerasan terhadap wanita di ranah rumah tangga/relasi personal yang ditemukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dilaporkan dalam Catatan Tahunan Maret 2017.
Angka yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Pengadilan Agama, rumah sakit, dan laporan langsung ke Komnas Perempuan itu menemukan, sepertiga dari kekerasan yang dilakukan di ranah rumah tangga dan relasi personal adalah kekerasan seksual. Data tersebut juga menyebutkan, ada 135 kasus pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape.
“Loh Anda kan menikah? Masa’ diperkosa suami?”
“Itu maksudnya gimana, diperkosa? Tapi kan married?”
Kata-kata tersebut adalah respon dari beberapa orang terhadap kasus Marital Rape. Tidak hanya terluka secara fisik, perbuatan itu juga menyebabkan luka psikis berkepanjangan bagi korban.
Mungkin masyarakat akan menganggap Marital Rape sebagai hal yang aneh karena di dalam pernikahan, suami atau istri memiliki hak untuk bersetubuh dengan pasangannya. Namun tentunya dalam melaksanakan hak, ada batasan yang harus dipatuhi dan ini juga ada di dalam sebuah perkawinan. Hubungan seksual antara suami dan istri harus disertai konsen dari kedua pihak. Tentunya jika tidak ada konsen dari salah satu pihak, pihak tersebut akan merasa disakiti.
Berkaitan dengan problem kekerasan kehendak seksual, marital rape adalah suatu bentuk pemaksaan (perkosaan) hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri, atau sebaliknya isteri kepada suami. Tetapi dalam realitanya, justru yang sering kali terjadi adalah tindak kekerasan suami terhadap isteri.
Hal ini terbukti lewat Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United Nations Population Fund (UNFPA). Dari sekitar 9.000 responden, berusia 15-64 tahun, ditemukan bahwa seperempat wanita menikah pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Di negara semaju Amerika Serikat saja, peraturan soal perkawinan baru muncul pada permukaan pada tahun 1970-an. Meskipun demikian, pada tahun 1993 perkosaan dalam pernikahan dinyatakan ilegal di seluruh negara bagian Amerika Serikat. Negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Swiss, sudah lebih dulu melakukan dan mengkriminalisasi pelaku perkosaan.
Selandia Baru dan Australia juga menyatakan perkosaan dalam perkawinan sebagai bentuk kejahatan yang bisa dijerat hukum. Bagaimana di Asia yang konon memiliki budaya patriarkat kuat? Hukum di Filipina, Thailand, dan Korea Selatan kini juga tidak menoleransi perkosaan dalam pernikahan. Di Indonesia, hukum yang sudah pernah digunakan untuk menjerat pelaku perkosaan. Pelakunya dijerat. Pasal 8 huruf a UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Ancamannya, seperti yang disebut dalam Pasal 46, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta. Tapi tak bisa dipungkiri, anggapan bahwa seorang istri wajib menuruti keinginan suami, termasuk dalam urusan seks, dan berdosa saat ia menolaknya, jadi salah satu faktor yang membungkam fakta perbuatan perkosaan.
Ini yang berusaha dipatahkan melalui Kongres Ulama Wanita Indonesia yang dilangsungkan beberapa waktu lalu. Dalam forum, keluar fatwa haram terhadap kekerasan seksual, baik dengan pasangan menikah atau tidak. Dasar-dasar dari fatwa itu adalah dorongan untuk manusia, hak untuk merdeka dan kebiasaan, dan hak atas mani (hifd an nasl). Semua itu memang ada dalam agama Islam.
Marital rape adalah hal serius, tapi masih belum banyak dikenali. Besaran angka kekerasan terhadap wanita yang tercatat oleh Komnas Perempuan merupakan fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan daripada yang tersembuyi di bawah permukaan. Masih banyak wanita korban yang tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan.
Untuk itu, yuk kita mulai pahami dan peduli kondisi lingkungan sekitar kita. Mulailah untuk memahami bahwa urusan seks adalah hak pribadi perorangan yang juga harus dihormati, pahami pula bahwa menikahkan korban pemerkosaan dengan pemerkosa adalah kesalahan besar, jangan ragu untuk melaporkan kejadian tindak kekerasan yang anda ketahui pasti terhadap pihak yang berwajib. Dengan melaporkan, setidaknya anda membantu korban lepas dari belenggu yang terus menjeratnya.
Sumber :
http://www.femina.co.id/sex-relationship/marital-rape-sebuah-fenomena-gunung-es
http://www.femina.co.id/sex-relationship/hukum-marital-rape
http://www.rifka-annisa.org/id/berita/berita-umum/item/467-marital-rape-pemerkosan-dalam-perkawinan
Kekerasan terhadap istri bahkan mendominasi kekerasan terhadap wanita di ranah rumah tangga/relasi personal yang ditemukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dilaporkan dalam Catatan Tahunan Maret 2017.
Angka yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Pengadilan Agama, rumah sakit, dan laporan langsung ke Komnas Perempuan itu menemukan, sepertiga dari kekerasan yang dilakukan di ranah rumah tangga dan relasi personal adalah kekerasan seksual. Data tersebut juga menyebutkan, ada 135 kasus pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape.
“Loh Anda kan menikah? Masa’ diperkosa suami?”
“Itu maksudnya gimana, diperkosa? Tapi kan married?”
Kata-kata tersebut adalah respon dari beberapa orang terhadap kasus Marital Rape. Tidak hanya terluka secara fisik, perbuatan itu juga menyebabkan luka psikis berkepanjangan bagi korban.
Mungkin masyarakat akan menganggap Marital Rape sebagai hal yang aneh karena di dalam pernikahan, suami atau istri memiliki hak untuk bersetubuh dengan pasangannya. Namun tentunya dalam melaksanakan hak, ada batasan yang harus dipatuhi dan ini juga ada di dalam sebuah perkawinan. Hubungan seksual antara suami dan istri harus disertai konsen dari kedua pihak. Tentunya jika tidak ada konsen dari salah satu pihak, pihak tersebut akan merasa disakiti.
Berkaitan dengan problem kekerasan kehendak seksual, marital rape adalah suatu bentuk pemaksaan (perkosaan) hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri, atau sebaliknya isteri kepada suami. Tetapi dalam realitanya, justru yang sering kali terjadi adalah tindak kekerasan suami terhadap isteri.
Hal ini terbukti lewat Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United Nations Population Fund (UNFPA). Dari sekitar 9.000 responden, berusia 15-64 tahun, ditemukan bahwa seperempat wanita menikah pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Di negara semaju Amerika Serikat saja, peraturan soal perkawinan baru muncul pada permukaan pada tahun 1970-an. Meskipun demikian, pada tahun 1993 perkosaan dalam pernikahan dinyatakan ilegal di seluruh negara bagian Amerika Serikat. Negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Swiss, sudah lebih dulu melakukan dan mengkriminalisasi pelaku perkosaan.
Selandia Baru dan Australia juga menyatakan perkosaan dalam perkawinan sebagai bentuk kejahatan yang bisa dijerat hukum. Bagaimana di Asia yang konon memiliki budaya patriarkat kuat? Hukum di Filipina, Thailand, dan Korea Selatan kini juga tidak menoleransi perkosaan dalam pernikahan. Di Indonesia, hukum yang sudah pernah digunakan untuk menjerat pelaku perkosaan. Pelakunya dijerat. Pasal 8 huruf a UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Ancamannya, seperti yang disebut dalam Pasal 46, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta. Tapi tak bisa dipungkiri, anggapan bahwa seorang istri wajib menuruti keinginan suami, termasuk dalam urusan seks, dan berdosa saat ia menolaknya, jadi salah satu faktor yang membungkam fakta perbuatan perkosaan.
Ini yang berusaha dipatahkan melalui Kongres Ulama Wanita Indonesia yang dilangsungkan beberapa waktu lalu. Dalam forum, keluar fatwa haram terhadap kekerasan seksual, baik dengan pasangan menikah atau tidak. Dasar-dasar dari fatwa itu adalah dorongan untuk manusia, hak untuk merdeka dan kebiasaan, dan hak atas mani (hifd an nasl). Semua itu memang ada dalam agama Islam.
Marital rape adalah hal serius, tapi masih belum banyak dikenali. Besaran angka kekerasan terhadap wanita yang tercatat oleh Komnas Perempuan merupakan fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan daripada yang tersembuyi di bawah permukaan. Masih banyak wanita korban yang tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan.
Untuk itu, yuk kita mulai pahami dan peduli kondisi lingkungan sekitar kita. Mulailah untuk memahami bahwa urusan seks adalah hak pribadi perorangan yang juga harus dihormati, pahami pula bahwa menikahkan korban pemerkosaan dengan pemerkosa adalah kesalahan besar, jangan ragu untuk melaporkan kejadian tindak kekerasan yang anda ketahui pasti terhadap pihak yang berwajib. Dengan melaporkan, setidaknya anda membantu korban lepas dari belenggu yang terus menjeratnya.
Sumber :
http://www.femina.co.id/sex-relationship/marital-rape-sebuah-fenomena-gunung-es
http://www.femina.co.id/sex-relationship/hukum-marital-rape
http://www.rifka-annisa.org/id/berita/berita-umum/item/467-marital-rape-pemerkosan-dalam-perkawinan