Krisis Lingkungan di Sumatera Selatan: Masyarakat Desak Evaluasi Izin PT. REKI
Berita Warga

Palembang, 14 Oktober 2024 – Masyarakat Sumatera Selatan tengah dilanda keresahan mendalam akibat kerusakan lingkungan yang semakin parah dalam sepuluh tahun terakhir. Aktivitas tambang batubara, pembalakan liar (illegal logging), pengeboran liar (illegal drilling), serta perambahan kawasan hutan secara masif telah merusak ekosistem wilayah ini, dan kini potensi bencana alam semakin besar di Provinsi Sumatera Selatan.
Yayasan Depati dan Sumsel Bersih menyoroti ancaman kerusakan hutan dataran rendah yang menjadi andalan mereka. Hutan ini, yang dikelola oleh PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (PT. REKI) berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), mencakup 98.555 hektar lahan yang tersebar di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Namun, kehadiran PT. REKI tidak membawa manfaat seperti yang diharapkan. Sebaliknya, Yayasan Depati dan Sumsel Bersih bahwa PT. REKI gagal menjalankan tugasnya dalam menjaga kelestarian hutan.
Konflik Masyarakat dan PT. REKI
Sejak PT. REKI memperoleh izin pengelolaan pada tahun 2004, konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan ini terus berlanjut. Masyarakat menilai PT. REKI gagal melindungi kawasan hutan dari berbagai bentuk kerusakan. Konflik tenurial, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, serta hilangnya habitat satwa liar seperti gajah dan harimau telah membuat situasi semakin parah.
Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya konflik antara masyarakat dan satwa liar akibat terganggunya habitat satwa di kawasan hutan. “Gajah dan harimau semakin sering memasuki pemukiman penduduk karena wilayah jelajah mereka tidak lagi aman,” Terang Boni Ketua Sumsel Bersih
"Selain itu, aktivitas pembalakan liar (illegal logging) dan pengeboran liar (illegal drilling) juga marak terjadi di kawasan yang seharusnya dilindungi. Sumsel Bersih mendesak agar pemerintah segera turun tangan sebelum hutan dataran rendah yang tersisa benar-benar hilang." Ujar Boni Bangun ketua Sumsel Bersih menambahkan
Alih Fungsi Hutan dan Kehidupan Suku Anak Dalam
Kondisi suku asli yang tinggal di kawasan hutan, yaitu Suku Anak Dalam Batin Sembilan. Mereka semakin terhimpit oleh perambahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lain dan aktivitas perusahaan. “Tempat tinggal dan areal jelajah mereka semakin sempit, sementara perlindungan dari PT. REKI dirasa minim,” tambah Ali Goik aktivis lingkungan dan Direktur Yayasan Depati sekaligus sebagai ketua tim advokasi tolak jalan tambang yang membelah hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera Selatan.
Berdasarkan data yang didapat hampir 75% dari kawasan yang dikelola PT. REKI di Provinsi Jambi telah dialihfungsikan menjadi kebun sawit oleh masyarakat yang merambah kawasan hutan. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan restorasi ekosistem yang menjadi misi awal PT. REKI.
Desakan Evaluasi dan Transparansi
Yayasan Depati dan Sumsel Bersih tidak hanya menuntut perbaikan tata kelola hutan, tetapi juga mendesak adanya audit menyeluruh terhadap pajak dan pengelolaan dana hibah yang diterima oleh PT. REKI, yang menurut mereka sudah mencapai ratusan miliar rupiah. “Kami menduga ada penyalahgunaan dana hibah, serta kemungkinan adanya kongkalikong antara PT. REKI dan pihak lain untuk kepentingan pribadi,” tegas Ali Goik
Selain itu, Yayasan Depati dan Sumsel Bersih juga menyoroti adanya indikasi rencana pembangunan jalan tambang oleh PT. MBJ yang akan melintasi Hutan Harapan, kawasan yang seharusnya dilindungi oleh PT. REKI. Mereka mencurigai adanya kerja sama antara kedua perusahaan tersebut untuk merusak hutan demi kepentingan tambang.
“Kami hanya ingin hutan ini kembali berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai pelindung alam dan habitat bagi satwa serta masyarakat adat,” ujar ujar Ali Goik.
Yayasan Depati dan Sumsel Bersih menyoroti ancaman kerusakan hutan dataran rendah yang menjadi andalan mereka. Hutan ini, yang dikelola oleh PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (PT. REKI) berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), mencakup 98.555 hektar lahan yang tersebar di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Namun, kehadiran PT. REKI tidak membawa manfaat seperti yang diharapkan. Sebaliknya, Yayasan Depati dan Sumsel Bersih bahwa PT. REKI gagal menjalankan tugasnya dalam menjaga kelestarian hutan.
Konflik Masyarakat dan PT. REKI
Sejak PT. REKI memperoleh izin pengelolaan pada tahun 2004, konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan ini terus berlanjut. Masyarakat menilai PT. REKI gagal melindungi kawasan hutan dari berbagai bentuk kerusakan. Konflik tenurial, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, serta hilangnya habitat satwa liar seperti gajah dan harimau telah membuat situasi semakin parah.
Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya konflik antara masyarakat dan satwa liar akibat terganggunya habitat satwa di kawasan hutan. “Gajah dan harimau semakin sering memasuki pemukiman penduduk karena wilayah jelajah mereka tidak lagi aman,” Terang Boni Ketua Sumsel Bersih
"Selain itu, aktivitas pembalakan liar (illegal logging) dan pengeboran liar (illegal drilling) juga marak terjadi di kawasan yang seharusnya dilindungi. Sumsel Bersih mendesak agar pemerintah segera turun tangan sebelum hutan dataran rendah yang tersisa benar-benar hilang." Ujar Boni Bangun ketua Sumsel Bersih menambahkan
Alih Fungsi Hutan dan Kehidupan Suku Anak Dalam
Kondisi suku asli yang tinggal di kawasan hutan, yaitu Suku Anak Dalam Batin Sembilan. Mereka semakin terhimpit oleh perambahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lain dan aktivitas perusahaan. “Tempat tinggal dan areal jelajah mereka semakin sempit, sementara perlindungan dari PT. REKI dirasa minim,” tambah Ali Goik aktivis lingkungan dan Direktur Yayasan Depati sekaligus sebagai ketua tim advokasi tolak jalan tambang yang membelah hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera Selatan.
Berdasarkan data yang didapat hampir 75% dari kawasan yang dikelola PT. REKI di Provinsi Jambi telah dialihfungsikan menjadi kebun sawit oleh masyarakat yang merambah kawasan hutan. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan restorasi ekosistem yang menjadi misi awal PT. REKI.
Desakan Evaluasi dan Transparansi
Yayasan Depati dan Sumsel Bersih tidak hanya menuntut perbaikan tata kelola hutan, tetapi juga mendesak adanya audit menyeluruh terhadap pajak dan pengelolaan dana hibah yang diterima oleh PT. REKI, yang menurut mereka sudah mencapai ratusan miliar rupiah. “Kami menduga ada penyalahgunaan dana hibah, serta kemungkinan adanya kongkalikong antara PT. REKI dan pihak lain untuk kepentingan pribadi,” tegas Ali Goik
Selain itu, Yayasan Depati dan Sumsel Bersih juga menyoroti adanya indikasi rencana pembangunan jalan tambang oleh PT. MBJ yang akan melintasi Hutan Harapan, kawasan yang seharusnya dilindungi oleh PT. REKI. Mereka mencurigai adanya kerja sama antara kedua perusahaan tersebut untuk merusak hutan demi kepentingan tambang.
“Kami hanya ingin hutan ini kembali berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai pelindung alam dan habitat bagi satwa serta masyarakat adat,” ujar ujar Ali Goik.