ICSF 2022 Bahas Tema “Memajukan Demokrasi Yang Inklusif” di Indonesia
Citizen News 
Indonesia Civil Society Forum (ICSF) adalah acara tahunan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas dan mendukung pembangunan masyarakat sipil di Indonesia. Ajang ini mempertemukan penggiat masyarakat sipil dan isu-isu pemerintah dari level daerah hingga nasional, untuk membangun jaringan, mengembangkan kapasitas, dan pengakuan atas inovasi dan praktik baik yang dilakukan.
Situasi pandemi menyebabkan ICSF III Tahun 2022 digelar secara virtual. Hari pertama (30/04/2022) mendiskusikan tentang "Peran Masyarakat Sipil dalam Mempromosikan Keragaman dan Inklusi Sosial". Hari kedua (31/04/2022) membahas "Demokrasi Inklusif dan Masyarakat Sipil".
Desain ICSF III mengkombinasi pidato utama tokoh nasional, diskusi panel pegiat demokrasi, serta breakout room dengan pemantik para aktivis dan pelaku berbagai daerah. Peserta dan narasumber yang hadir sekitar 350 orang.
Hari pertama diawali Keynote Speech Prof Dr Muhadjir Effendy, MAP/ Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Pak Menteri mengatakan Indonesia masih relatif muda dalam berdemokrasi. Tetapi Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga merupakan negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Potensi tersebut menjadikan Indonesia laboratorium terbesar yang mempertemukan demokrasi dengan peradaban Islam. Tidak sedikit doktrin pengembangan demokrasi mengadopsi peradaban Islam, seperti bagaimana kisah Nabi membangun pemerintahan dengan Piagam Madinah, dll.
Masyarakat sipil memiliki peran sangat penting dalam mewarnai kemajuan demokrasi . Keberadaan organisasi masyarakat sipil yang lebih dari 400-an Ormas di Indonesia termasuk terbesar di planet bumi ini. Namun ternyata kita belum berada dalam satu titik yang sama dalam membangun demokrasi.
Dari survey berbagai pihak menyatakan demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran. Keberagaman mempersulit perwujudan demokrasi yang inklusif. Munculnya faham intoleran dan prilaku diskriminatif, money politik dalam pemilu, politik identitas, pelanggaran HAM, penguasaan elit di parlemen, dan praktik korupsi yang sulit diberantas.
Keajekan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam memajukan demokrasi di Indonesia yang lebih inklusif, matang dan dewasa.
Keynote Speech di hari kedua adalah Profesor Azyumardi Azra, dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau mengkritisi politik di Indonesia yang semakin transaksional. Banyak anggota legislatif di Senayan dan pemerintahan di kabinet yang berlatar pengusaha. Akibatnya banyak produk Undang-Undang yang pro oligarki bisnis.
Perlu upaya membangun demokrasi deliberatif yang inklusif sebagaimana amanat sila ke-4 Pancasila, musyawarah untuk mufakat. Demokrasi deliberatif tetap memandang pemilu penting, bukan semata untuk mengambil kekuasaan sehingga setelah menang segala seuatunya tetap dimufakatkan.
Menurut Prof Azra, masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil tetap dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Demokrasi deliberatif yang inklusif memiliki landasan kuat secara konstitusi dan kultural.
“Demokrasi harus kontekstual, mengambil prinsip-prinsip universal, sehingga Indonesia tetap menjadi negara demokrasi”, kata Prof Azra.
“Kisah para pematik dalam membangun desa di Poso, bagaimana memberdayakan perempuan dan mengoptimalkan perannya di masyarakat, itu sangat menginsipirasi,“ kata seorang peserta.
Masyarakat terkadang tidak menyadari pentingnya mereka dalam membangun demokrasi. Dimanapun berada, perempuan jadilah permata yang selalu bersinar.
Diskusi ini mengingatkan pada pentingnya masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil untuk refleksi, memperkuat agenda di tengah kemunduran demokrasi. Forum ini sangat menginspirasi, memberi banyak pelajaran dari pengalaman, gagasan, ide, inovasi para narasumber, pemateri, pemantik diskusi, dan peserta diskusi breakout room.*
Situasi pandemi menyebabkan ICSF III Tahun 2022 digelar secara virtual. Hari pertama (30/04/2022) mendiskusikan tentang "Peran Masyarakat Sipil dalam Mempromosikan Keragaman dan Inklusi Sosial". Hari kedua (31/04/2022) membahas "Demokrasi Inklusif dan Masyarakat Sipil".
Desain ICSF III mengkombinasi pidato utama tokoh nasional, diskusi panel pegiat demokrasi, serta breakout room dengan pemantik para aktivis dan pelaku berbagai daerah. Peserta dan narasumber yang hadir sekitar 350 orang.
Hari pertama diawali Keynote Speech Prof Dr Muhadjir Effendy, MAP/ Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Pak Menteri mengatakan Indonesia masih relatif muda dalam berdemokrasi. Tetapi Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga merupakan negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Potensi tersebut menjadikan Indonesia laboratorium terbesar yang mempertemukan demokrasi dengan peradaban Islam. Tidak sedikit doktrin pengembangan demokrasi mengadopsi peradaban Islam, seperti bagaimana kisah Nabi membangun pemerintahan dengan Piagam Madinah, dll.
Masyarakat sipil memiliki peran sangat penting dalam mewarnai kemajuan demokrasi . Keberadaan organisasi masyarakat sipil yang lebih dari 400-an Ormas di Indonesia termasuk terbesar di planet bumi ini. Namun ternyata kita belum berada dalam satu titik yang sama dalam membangun demokrasi.
Dari survey berbagai pihak menyatakan demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran. Keberagaman mempersulit perwujudan demokrasi yang inklusif. Munculnya faham intoleran dan prilaku diskriminatif, money politik dalam pemilu, politik identitas, pelanggaran HAM, penguasaan elit di parlemen, dan praktik korupsi yang sulit diberantas.
Keajekan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam memajukan demokrasi di Indonesia yang lebih inklusif, matang dan dewasa.
Keynote Speech di hari kedua adalah Profesor Azyumardi Azra, dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau mengkritisi politik di Indonesia yang semakin transaksional. Banyak anggota legislatif di Senayan dan pemerintahan di kabinet yang berlatar pengusaha. Akibatnya banyak produk Undang-Undang yang pro oligarki bisnis.
Perlu upaya membangun demokrasi deliberatif yang inklusif sebagaimana amanat sila ke-4 Pancasila, musyawarah untuk mufakat. Demokrasi deliberatif tetap memandang pemilu penting, bukan semata untuk mengambil kekuasaan sehingga setelah menang segala seuatunya tetap dimufakatkan.
Menurut Prof Azra, masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil tetap dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Demokrasi deliberatif yang inklusif memiliki landasan kuat secara konstitusi dan kultural.
“Demokrasi harus kontekstual, mengambil prinsip-prinsip universal, sehingga Indonesia tetap menjadi negara demokrasi”, kata Prof Azra.
“Kisah para pematik dalam membangun desa di Poso, bagaimana memberdayakan perempuan dan mengoptimalkan perannya di masyarakat, itu sangat menginsipirasi,“ kata seorang peserta.
Masyarakat terkadang tidak menyadari pentingnya mereka dalam membangun demokrasi. Dimanapun berada, perempuan jadilah permata yang selalu bersinar.
Diskusi ini mengingatkan pada pentingnya masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil untuk refleksi, memperkuat agenda di tengah kemunduran demokrasi. Forum ini sangat menginspirasi, memberi banyak pelajaran dari pengalaman, gagasan, ide, inovasi para narasumber, pemateri, pemantik diskusi, dan peserta diskusi breakout room.*
