Genta Rohani Khonghucu: Mengzi - Mencius
Berita Warga

Perjalanan hidup Mengzi (371–289 M) sangatlah mirip dengan Nabi Kongzi, seperti Nabi Kongzi, ia dilahirkan di provinsi Shandong modern. Seperti Nabi Kongzi, Ia adalah guru profesional, ia pernah belajar dibawah bimbingan murid dari cucu Nabi Kongzi. Seperti Nabi Kongzi, ia mengagumi kaisar-kaisar zaman dahulu yang suci dan bijaksana. Seperti Nabi Kongzi, ia hidup di periode perjuangan politik, kekacauan moral, dan konflik-konflik intelektual. Seperti Nabi Kongzi, ia memiliki kesadaran akan misi, misi memadamkan “Doktrin Yang Memutarbalikkan.”
Sampai akhir ia berdebat dengan para sarjana dan menyerang lawan-lawannya, terutama para pengikut Mozi (479–438 M) dan Yangzi (440–360 M). Seperti Nabi Kongzi, ia berkeliling selama empat puluh tahun dari sekitar tahun 354 SM atau sebelumnya, untuk memberikan nasihat kepada para raja untuk pembaruan/ perbaikan. Seperti Nabi Kongzi, ia pernah menjadi pejabat di Negeri Qi dari 319–312 SM. Seperti Nabi Kongzi, ia adalah anak berbakti, ketika menjadi pejabat di negeri Qi, ia berduka selama tiga tahun atas kematian ibunya.
Namun, satu hal berbeda dari keduanya adalah kita sebenarnya tidak mengetahui apapun tentang keluarga Mengzi atau kehidupan pribadinya. Mengzi adalah murid dari murid Zisi, cucu Nabi Kongzi. Sejarahnya samar-samar. Kebanyakan orang mengatakan bahwa ia hidup antara tahun 370 dan 290 SM, jadi ia sezaman dengan Sunzi, Chuangzi, dan Plato, ia sering dibandingkan dengan mereka.
Perbedaan terbesar dari Mengzi dan Nabi Kongzi adalah doktrin mereka. Pada dasarnya, ajaran-ajaran Mengzi berasal dari Nabi Kongzi. Namun di dalam doktrin utama dari ajaran Konfusian, yaitu sifat manusia, Mengzi mengambil langkah besar ke depan, dan teori barunya mewarnai doktrin-doktrinnya yang lain. Jika Nabi Kongzi tidak lebih dari menyiratkan bahwa sifat manusia adalah baik, Mengzi menyatakan dengan pasti bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah baik.
Ia membangun seluruh ajarannya pada prinsip ini. Karena manusia pada dasarnya adalah baik, secara logis:
(1) manusia memiliki pengetahuan bawaan tentang yang baik dan “kemampuan bawaan” untuk berbuat baik;
(2) jika seseorang “mengembangkan hati dengan sepenuhnya” dia bisa “mengabdi kepada Tuhan” dan “menetapi nasibnya”;
(3) kejelekan tidak dibawa sejak lahir tapi karena kegagalan dan ketidakmampuan manusia itu sendiri untuk menjauhi pengaruh buruk dari luar;
(4) upaya-upaya serius harus dilakukan untuk memulihkan sifat asli (watak sejati); dan
(5) akhir dari pembelajaran tidak lain dari “menemukan hati yang hilang.”
Selengkapnya bisa dibaca di: https://www.gentarohani.com/2021/04/mengzi-mencius.html
Sampai akhir ia berdebat dengan para sarjana dan menyerang lawan-lawannya, terutama para pengikut Mozi (479–438 M) dan Yangzi (440–360 M). Seperti Nabi Kongzi, ia berkeliling selama empat puluh tahun dari sekitar tahun 354 SM atau sebelumnya, untuk memberikan nasihat kepada para raja untuk pembaruan/ perbaikan. Seperti Nabi Kongzi, ia pernah menjadi pejabat di Negeri Qi dari 319–312 SM. Seperti Nabi Kongzi, ia adalah anak berbakti, ketika menjadi pejabat di negeri Qi, ia berduka selama tiga tahun atas kematian ibunya.
Namun, satu hal berbeda dari keduanya adalah kita sebenarnya tidak mengetahui apapun tentang keluarga Mengzi atau kehidupan pribadinya. Mengzi adalah murid dari murid Zisi, cucu Nabi Kongzi. Sejarahnya samar-samar. Kebanyakan orang mengatakan bahwa ia hidup antara tahun 370 dan 290 SM, jadi ia sezaman dengan Sunzi, Chuangzi, dan Plato, ia sering dibandingkan dengan mereka.
Perbedaan terbesar dari Mengzi dan Nabi Kongzi adalah doktrin mereka. Pada dasarnya, ajaran-ajaran Mengzi berasal dari Nabi Kongzi. Namun di dalam doktrin utama dari ajaran Konfusian, yaitu sifat manusia, Mengzi mengambil langkah besar ke depan, dan teori barunya mewarnai doktrin-doktrinnya yang lain. Jika Nabi Kongzi tidak lebih dari menyiratkan bahwa sifat manusia adalah baik, Mengzi menyatakan dengan pasti bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah baik.
Ia membangun seluruh ajarannya pada prinsip ini. Karena manusia pada dasarnya adalah baik, secara logis:
(1) manusia memiliki pengetahuan bawaan tentang yang baik dan “kemampuan bawaan” untuk berbuat baik;
(2) jika seseorang “mengembangkan hati dengan sepenuhnya” dia bisa “mengabdi kepada Tuhan” dan “menetapi nasibnya”;
(3) kejelekan tidak dibawa sejak lahir tapi karena kegagalan dan ketidakmampuan manusia itu sendiri untuk menjauhi pengaruh buruk dari luar;
(4) upaya-upaya serius harus dilakukan untuk memulihkan sifat asli (watak sejati); dan
(5) akhir dari pembelajaran tidak lain dari “menemukan hati yang hilang.”
Selengkapnya bisa dibaca di: https://www.gentarohani.com/2021/04/mengzi-mencius.html