Genta Rohani Khonghucu: Keharmonisan Ajaran Khonghucu dan Barong Landung di Bali
Berita Warga

Menghayati sejarah peradaban bangsa untuk dijadikan teladan pembangunan karakter wajib dilakukan saat ini. Apalagi, jati diri manusia Indonesia, perlahan namun pasti, mulai tergerus kultur populer yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianut.
Nabi Khonghucu mengajarkan pentingnya menghargai peradaban masa lalu. Dalam salah satu ayat, dia bersabda,“Kekaisaran Zhou meneladani kedua Kekaisaran yang mendahuluinya (Xia dan Shang) dan ternyata diketahui begitu Agung dan Megah peradabannya. Maka Akupun mengikuti jejak Kekaisaran Zhou.” (Lun Yu III:14).
Peradaban Bangsa Indonesia merupakan mahakarya manusia melalui rahmat Tian-Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam perkembangannya, Peradaban Bangsa Indonesia selalu mengutamakan esensi spiritualitas yang dimanifestasikan dalam purna rupa kesenian yang sangat indah dan megah.
Berbagai catatan sejarah menunjukkan “peradaban bangsa Indonesia” bukan berasal dari entitas tunggal, melainkan terbentuk dari elastisnya berbagai nilai peradaban bangsa lain yang selaras, hingga terserap membentuk suatu mahakarya akulturasi kesenian yang saling menyempurnakan, namun tidak meninggalkan esensi spiritualitas sumber asalnya. Hal ini dapat ditemukan dalam penelusuran arkeologis akar peradaban berbagai suku di Indonesia, salah satunya di Bali.
Masyarakat Bali dengan segala keindahan filosofi hidupnya yang termanifestasikan di dalam adat dan budaya berbalut kesenian yang adiluhung, juga menyimpan jejak sejarah akulturasi kebudayaan, peradaban, dan spiritualitas dengan masyarakat Tionghoa yang sangat bernilai. Ini bisa dijadikan patokan etika moral persatuan yang tulus dan harmonis, yang sesuai dengan tujuan perkembangan jati diri bangsa Indonesia ke depannya.
Beragamnya jejak akulturasi peradaban Tionghoa di kehidupan masyarakat Bali cukup mudah ditemukan pada kegiatan harian berbalut spiritualitas, mulai dari arsitektur rumah dan Pura, Pelinggih (bangunan suci Hindu) di dalam Kelenteng atau Miao (kuil/altar persembahyangan dalam tata cara Khonghucu) di dalam Pura, sarana persembahyangan (seperti dupa dan pis bolong), berbagai jenis kuliner, kesenian Tari Baris, sejumlah senjata Sakral (tombak, panah, golok dan pedang) dan berbagai Kesusastraan yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-8 M.
Salah satu yang paling dikenal adalah kesenian tari Barong Landung dan situs Persembahyangan Ratu Ayu Mas Subandar yang berada dalam kompleks Pura Dalem Balingkang, Bangli. Keduanya sangat lekat dengan sejarah pernikahan Raja Jaya Pangus dengan gelar Paduka Sri Maharaja Haji Sayap Angus Arkaja Cihna dari Dinasti Warmadewa yang memerintah di Desa Pinggan, Kintamani, Bangli dengan seorang putri Tionghoa bernama Kang Cing Wei (yang kemudian bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna), anak dari tokoh Tionghoa yang berasal dari Kekaisaran Song, Tiongkok yang diperkirakan terjadi pada abad ke-11 M.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, diyakini bahwa pernikahan keduanya tidak dianugerahi keturunan. Sehingga Raja Jaya Pangus memutuskan melakukan tapa brata memohon petunjuk Tuhan ke daerah Danau Batur, Kintamani, Bali agar dapat dianugerahi seorang anak. Dalam perjalanannya, beliau bertemu seorang gadis pertapa bernama Dewi Danu. Keduanya lalu menikah tanpa sang Dewi mengetahui bahwa sang Raja telah memiliki Istri sah di istananya.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://kemenag.go.id/read/keharmonisan-ajaran-khonghucu-dan-barong-landung-di-bali-y5gam
Nabi Khonghucu mengajarkan pentingnya menghargai peradaban masa lalu. Dalam salah satu ayat, dia bersabda,“Kekaisaran Zhou meneladani kedua Kekaisaran yang mendahuluinya (Xia dan Shang) dan ternyata diketahui begitu Agung dan Megah peradabannya. Maka Akupun mengikuti jejak Kekaisaran Zhou.” (Lun Yu III:14).
Peradaban Bangsa Indonesia merupakan mahakarya manusia melalui rahmat Tian-Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam perkembangannya, Peradaban Bangsa Indonesia selalu mengutamakan esensi spiritualitas yang dimanifestasikan dalam purna rupa kesenian yang sangat indah dan megah.
Berbagai catatan sejarah menunjukkan “peradaban bangsa Indonesia” bukan berasal dari entitas tunggal, melainkan terbentuk dari elastisnya berbagai nilai peradaban bangsa lain yang selaras, hingga terserap membentuk suatu mahakarya akulturasi kesenian yang saling menyempurnakan, namun tidak meninggalkan esensi spiritualitas sumber asalnya. Hal ini dapat ditemukan dalam penelusuran arkeologis akar peradaban berbagai suku di Indonesia, salah satunya di Bali.
Masyarakat Bali dengan segala keindahan filosofi hidupnya yang termanifestasikan di dalam adat dan budaya berbalut kesenian yang adiluhung, juga menyimpan jejak sejarah akulturasi kebudayaan, peradaban, dan spiritualitas dengan masyarakat Tionghoa yang sangat bernilai. Ini bisa dijadikan patokan etika moral persatuan yang tulus dan harmonis, yang sesuai dengan tujuan perkembangan jati diri bangsa Indonesia ke depannya.
Beragamnya jejak akulturasi peradaban Tionghoa di kehidupan masyarakat Bali cukup mudah ditemukan pada kegiatan harian berbalut spiritualitas, mulai dari arsitektur rumah dan Pura, Pelinggih (bangunan suci Hindu) di dalam Kelenteng atau Miao (kuil/altar persembahyangan dalam tata cara Khonghucu) di dalam Pura, sarana persembahyangan (seperti dupa dan pis bolong), berbagai jenis kuliner, kesenian Tari Baris, sejumlah senjata Sakral (tombak, panah, golok dan pedang) dan berbagai Kesusastraan yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-8 M.
Salah satu yang paling dikenal adalah kesenian tari Barong Landung dan situs Persembahyangan Ratu Ayu Mas Subandar yang berada dalam kompleks Pura Dalem Balingkang, Bangli. Keduanya sangat lekat dengan sejarah pernikahan Raja Jaya Pangus dengan gelar Paduka Sri Maharaja Haji Sayap Angus Arkaja Cihna dari Dinasti Warmadewa yang memerintah di Desa Pinggan, Kintamani, Bangli dengan seorang putri Tionghoa bernama Kang Cing Wei (yang kemudian bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna), anak dari tokoh Tionghoa yang berasal dari Kekaisaran Song, Tiongkok yang diperkirakan terjadi pada abad ke-11 M.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, diyakini bahwa pernikahan keduanya tidak dianugerahi keturunan. Sehingga Raja Jaya Pangus memutuskan melakukan tapa brata memohon petunjuk Tuhan ke daerah Danau Batur, Kintamani, Bali agar dapat dianugerahi seorang anak. Dalam perjalanannya, beliau bertemu seorang gadis pertapa bernama Dewi Danu. Keduanya lalu menikah tanpa sang Dewi mengetahui bahwa sang Raja telah memiliki Istri sah di istananya.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://kemenag.go.id/read/keharmonisan-ajaran-khonghucu-dan-barong-landung-di-bali-y5gam