Filsafat Hindu: Ngusaba Tegen-Tegenan/Tatag di Pura Dalem Siwa dan Prajapati Desa Adat Kedisan
Berita Warga

Om Swastyastu
Berbagai keunikan tradisi dan budaya Bali dapat ditemui Kabupaten Bangli. Salah satunya tradisi Ngusabha Tatag atau Ngusaba Tegen di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dikatakan Ngusabha Tatag karena wilayah kegiatan upacara ini berlangsung dikenal dengan nama Tatag, karena ada sumber Mata Air bernama Tangga-Tangga, yang jikalau hendak Nunas Tirtanya mesti menaiki tangga/tatag, dan saat upacara berlangsung juga dibuatkan anak tangga/ tatag.
Dikatakan Ngusabha Tegen, karena kaum laki-laki umumnya juga membawa banten dengan cara ditegen. Kita tahu biasanya yang membawa banten adalah kaum wanita. Tapi saat Ngusaba Tatag, kaum laki-laki justru lebih mendominasi yakni dengan membawa banten dengan cara di tegen, sedang kaum wanita seperti biasa dengan nyuwun atau disunggi. Ngusabha Tatag ini dilasanakan setahun sekali setiap Tanggal ping 3 atau 5 Sasih Katiga (3-5 hari setelah Tilem Sasih Karo), sekitar bulan Agustus, bertempat di Pura Dalem Agung atau Dalem Suci dan di Pura Dalem Prajapati.
Khusus Upakara/Banten Tegen-Tegenan dipersembahkan di Pura Dalem Prajapati, sedangkan upakara di Pura Dalem Agung mempergunakan banten suci, sorohan dan pelayuhan. Upacara ini dilaksanakan dengan sistem Nyungkit, yaitu tiga kali upakaranya menggunkan ulam Itik/bebek, dan di tahun ke-4 menggunakan ulam Banteng/sapi. Areal Upacara di depan pelinggih Pura Dalem Prajapati, dan peletakan upakara/bantennya dibagi menjadi dua areal (Dajanan-Delodan).
Berbeda dengan upacara pada umumnya, Ngusabha Tatag atau Ngusabha Tegen di Desa Kedisan, sarana sesajen yang digunakan berupa banten tegenan dan pantang menggunakan jajan atau ikan yang digoreng. Sebaliknya, jajan atau ikan yang dipergunakan mesti dikuskus, direbus, dibakar atau di timbung atau di panggang. Hal ini sesuai dengan petikan lontar Purana Kedisan, yaitu: “Yan sira arep anebus ikang Atma, dewa hyang pitara mwang sang palatra ri Bhatara, Yan sira ngupakara ri de Bhatari Dhurga mwang ri de Siva Guru maring Prajapati mwang Dalem Agung wenang ta sira angaturaken bhakti sarwa galahan kumulub, pinanggang, tan wenang ginoreng….”
Artinya: “Jika engkau hendak menghaturkan banten penebusan kepada Bhatara untuk Atma, dewa hyang pitara, dan orang yang baru meninggal/belum diaben, jika engkau hendak menghaturkan banten untuk Bhatari dhurga dan kepada Dewa Siva baik di Dalem prajapati dan dalem Agung, patutlah mempersembahkan bakti/banten serba bungkulan/utuh/tidak ditebih, yang direbus/kukus. di bakar/timbung, dan tidak dibenarkan di goreng…”
Selengkapnya bisa dibaca di: https://bimashindu.kemenag.go.id/wisata-religi/ngusaba-tegen-tegenan-tatag-di-pura-dalem-siwa-dan-prajapati-desa-adat-kedisan-Ov12w
Berbagai keunikan tradisi dan budaya Bali dapat ditemui Kabupaten Bangli. Salah satunya tradisi Ngusabha Tatag atau Ngusaba Tegen di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dikatakan Ngusabha Tatag karena wilayah kegiatan upacara ini berlangsung dikenal dengan nama Tatag, karena ada sumber Mata Air bernama Tangga-Tangga, yang jikalau hendak Nunas Tirtanya mesti menaiki tangga/tatag, dan saat upacara berlangsung juga dibuatkan anak tangga/ tatag.
Dikatakan Ngusabha Tegen, karena kaum laki-laki umumnya juga membawa banten dengan cara ditegen. Kita tahu biasanya yang membawa banten adalah kaum wanita. Tapi saat Ngusaba Tatag, kaum laki-laki justru lebih mendominasi yakni dengan membawa banten dengan cara di tegen, sedang kaum wanita seperti biasa dengan nyuwun atau disunggi. Ngusabha Tatag ini dilasanakan setahun sekali setiap Tanggal ping 3 atau 5 Sasih Katiga (3-5 hari setelah Tilem Sasih Karo), sekitar bulan Agustus, bertempat di Pura Dalem Agung atau Dalem Suci dan di Pura Dalem Prajapati.
Khusus Upakara/Banten Tegen-Tegenan dipersembahkan di Pura Dalem Prajapati, sedangkan upakara di Pura Dalem Agung mempergunakan banten suci, sorohan dan pelayuhan. Upacara ini dilaksanakan dengan sistem Nyungkit, yaitu tiga kali upakaranya menggunkan ulam Itik/bebek, dan di tahun ke-4 menggunakan ulam Banteng/sapi. Areal Upacara di depan pelinggih Pura Dalem Prajapati, dan peletakan upakara/bantennya dibagi menjadi dua areal (Dajanan-Delodan).
Berbeda dengan upacara pada umumnya, Ngusabha Tatag atau Ngusabha Tegen di Desa Kedisan, sarana sesajen yang digunakan berupa banten tegenan dan pantang menggunakan jajan atau ikan yang digoreng. Sebaliknya, jajan atau ikan yang dipergunakan mesti dikuskus, direbus, dibakar atau di timbung atau di panggang. Hal ini sesuai dengan petikan lontar Purana Kedisan, yaitu: “Yan sira arep anebus ikang Atma, dewa hyang pitara mwang sang palatra ri Bhatara, Yan sira ngupakara ri de Bhatari Dhurga mwang ri de Siva Guru maring Prajapati mwang Dalem Agung wenang ta sira angaturaken bhakti sarwa galahan kumulub, pinanggang, tan wenang ginoreng….”
Artinya: “Jika engkau hendak menghaturkan banten penebusan kepada Bhatara untuk Atma, dewa hyang pitara, dan orang yang baru meninggal/belum diaben, jika engkau hendak menghaturkan banten untuk Bhatari dhurga dan kepada Dewa Siva baik di Dalem prajapati dan dalem Agung, patutlah mempersembahkan bakti/banten serba bungkulan/utuh/tidak ditebih, yang direbus/kukus. di bakar/timbung, dan tidak dibenarkan di goreng…”
Selengkapnya bisa dibaca di: https://bimashindu.kemenag.go.id/wisata-religi/ngusaba-tegen-tegenan-tatag-di-pura-dalem-siwa-dan-prajapati-desa-adat-kedisan-Ov12w