Film Pendek "Titik Dua", Potret Politisi Asal Ngomong
Berita Warga
Film pendek durasi 3 menit berjudul Titik Dua tayang di https://www.vidio.com/watch/7149984-titik-dua sejak September hingga Oktober 2022 dalam rangka Jakarta Film Week 2022. Bergenre sitkom, film ini menyindir banyak politisi yang asal ngomong, jauh kata dari perbuatan. Mengambil setting di sebuah angkutan umum, adegan banyak menunjukkan karakter politisi yang menjengkelkan. Sok tau, jauh kata dari perbuatan bisa jadi gelar tambahan yang boleh disematkan pada politisi seperti di film ini.
Saifullah Mechta, sang sutradara menceritakan, karakter sok tau dan menjengkelkan si politisi yang jadi tokoh utama filmnya adalah potret yang sudah diketahui masyarakat umum. Karakter itu terlihat dalam dialog saat si politisi bertanya pada mahasiswi yang duduk disampingnya.
“Ade ambil jurusan apa?” So pasti itu?” lanjutnya ketika dijawab jurusan Kehutanan.
Dia lalu melanjutkan dengan gaya sok tahu ”Kita (saya) ini apa yang kita tidak tahu” ketika mahasiswi yang kelihatan tidak nyaman duduk disebelahnya, membenarkan pertanyaan si politisi kalau di kampusnya baru saja ada aksi unjukrasa.
Simbol ketidaksukaan rakyat juga muncul saat politisi yang diperankan dengan apik oleh Yulius Tadale ini sedang berkoar kepada di mahasiswi yang semakin terlihat tidak nyaman di sampingnya. Dia membual betapa hebatnya program yang akan dia lakukan jika terpilih. Asik berkoar, tiba-tiba dari belakang, suara penumpang yang menerima telepon meninggi hingga menghentikan kampanye tak bermutunya.
Titik Dua adalah bagian kedua dari trilogi garapan rumah produksi Kayu Hitam bekerjasama dengan Institut Mosintuwu. Film yang diproduksi tahun 2020 ini adalah gambaran hajatan politik rutin 5 tahunan yang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak melahirkan pemimpin berkualitas, kontestasi yang kasar dan mahal.
Itu sebab, di film diceritakan seorang petani yang kebelet saat hendak ke kebun. Singgah di toilet darurat. Dia duduk nyaman di toilet berdinding baliho. Sambil menghisap rokok dia menatap wajah yang ada di baliho di depannya. Wajah si politisi yang sedang tersenyum membuat perutnya tambah sakit. Rokok dihisap dalam-dalam sampai menggeretak memerah. Pelan ujung rokok itu diarahkan ke senyuman si politisi.
Lahirnya film ini muncul dari refleksi sistem politik Indonesia pasca reformasi yang gagal mewujudkan harapan jutaan mahasiswa yang memperjuangkannya dengan darah dan nyawa di tahun 1998. Kita akhirnya disuguhkan pemimpin yang tidak punya niat sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Cek saja, mayoritas politisi yang terpilih di pemilu, kekayaannya tiba-tiba melejit, sementara angka kemiskinan rakyat yang dipimpinnya semakin tinggi.
Dari atas sampai ke bawah, publik sudah seperti punya pandangan sama terhadap politisi. Hapal betul tingkah lakunya. Mereka bahkan tau kapan orang-orang itu mengumbar senyum, kapan cuek seakan kita tidak ada masalah orang yang diwakilinya.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://www.mosintuwu.com/2022/09/10/titik-dua-potret-politisi-asal-ngomong/
Saifullah Mechta, sang sutradara menceritakan, karakter sok tau dan menjengkelkan si politisi yang jadi tokoh utama filmnya adalah potret yang sudah diketahui masyarakat umum. Karakter itu terlihat dalam dialog saat si politisi bertanya pada mahasiswi yang duduk disampingnya.
“Ade ambil jurusan apa?” So pasti itu?” lanjutnya ketika dijawab jurusan Kehutanan.
Dia lalu melanjutkan dengan gaya sok tahu ”Kita (saya) ini apa yang kita tidak tahu” ketika mahasiswi yang kelihatan tidak nyaman duduk disebelahnya, membenarkan pertanyaan si politisi kalau di kampusnya baru saja ada aksi unjukrasa.
Simbol ketidaksukaan rakyat juga muncul saat politisi yang diperankan dengan apik oleh Yulius Tadale ini sedang berkoar kepada di mahasiswi yang semakin terlihat tidak nyaman di sampingnya. Dia membual betapa hebatnya program yang akan dia lakukan jika terpilih. Asik berkoar, tiba-tiba dari belakang, suara penumpang yang menerima telepon meninggi hingga menghentikan kampanye tak bermutunya.
Titik Dua adalah bagian kedua dari trilogi garapan rumah produksi Kayu Hitam bekerjasama dengan Institut Mosintuwu. Film yang diproduksi tahun 2020 ini adalah gambaran hajatan politik rutin 5 tahunan yang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak melahirkan pemimpin berkualitas, kontestasi yang kasar dan mahal.
Itu sebab, di film diceritakan seorang petani yang kebelet saat hendak ke kebun. Singgah di toilet darurat. Dia duduk nyaman di toilet berdinding baliho. Sambil menghisap rokok dia menatap wajah yang ada di baliho di depannya. Wajah si politisi yang sedang tersenyum membuat perutnya tambah sakit. Rokok dihisap dalam-dalam sampai menggeretak memerah. Pelan ujung rokok itu diarahkan ke senyuman si politisi.
Lahirnya film ini muncul dari refleksi sistem politik Indonesia pasca reformasi yang gagal mewujudkan harapan jutaan mahasiswa yang memperjuangkannya dengan darah dan nyawa di tahun 1998. Kita akhirnya disuguhkan pemimpin yang tidak punya niat sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Cek saja, mayoritas politisi yang terpilih di pemilu, kekayaannya tiba-tiba melejit, sementara angka kemiskinan rakyat yang dipimpinnya semakin tinggi.
Dari atas sampai ke bawah, publik sudah seperti punya pandangan sama terhadap politisi. Hapal betul tingkah lakunya. Mereka bahkan tau kapan orang-orang itu mengumbar senyum, kapan cuek seakan kita tidak ada masalah orang yang diwakilinya.
Selengkapnya bisa dibaca di: https://www.mosintuwu.com/2022/09/10/titik-dua-potret-politisi-asal-ngomong/