Desa Katu Dan Budaya Mantuda
Berita Warga

Desa Katu, sebuah desa kecil yang berada di kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagai Desa terakhir yang berada di ujung jalan, Katu berbatasan langsung dengan Taman nasional Lore Lindu.
Desa yang memiliki luas kurang lebih 5.461,3 hektar dan berpenduduk kurang lebih 5.461,3, memiliki searah panjang selama berdirinya. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1918. Tidak ada sejarah pasti tentang asal-usul orang Behoa, tetapi berdasarkan pada tumpang tindihnya antara kisah asal-usul dan pencatatan sejarah dari kelompok-kelompok lain, orang Behoa tampaknya telah berada di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Penduduk Katu adalah bagian dari komunitas Behoa, biasanya sesama behoa menyebut Katu sebagai behoa kakau yang artinya behoa hutan.
Katu resmi menjadi desa pada 1928, yang diresmikan langsung oleh Raja Kabo dan bersama seorang Belanda bernama J.W. Wesseldijk, mendirikan sekolah misionaris Protestan di desa Katu pada tahun 1929.
Letaknya yang jauh dari kota dan memiliki sejarah panjang semasa berdirinya desa tersebut membuat Desa Katu Kokoh menjaga adat istiadat dan kebudayaanya. Diantarnaya adalah Budaya "Mantuda". Mantuda secara harfiah bisa diartikan sebagai Menanam. Namun menanam dalam definisi komunitas katu sedikit berbeda dalam prosesnya dimana Mantuda dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat sekitar lahan yang akan ditanami tersebut. Olehnya mendefisikan Budaya mantuda sebagai Menanam saja rasanya menjadi memiskinkan makna Mantuda itu sendiri.
Jum"at, 7 februari 2020, kawan saya, Dhani Rama, berkesempatan mengunjungi desa katu dan mendapati langsung proses Mantuda dilangsungkan di desa katu. Tak ada satupun rumah yang berpenghuni, pintu rumah tertutup rapat, semua aktifitas terpusat di lahan milik salah seorang warga untuk melangsungkan Mantuda. Tanah seluas kurang lebih 2 hektar itu dapat terisi dengan tanaman padi ladang dan jagung hanya dalam kurun waktu setengah hari saja (mulai dari jam 08.00 pagi, hingga pukul 13.00 siang hari). Seluruh warga Desa Katu gotong royong bekerja. Tua, muda Bahkan anak-anak dengan semangat mengikuti tradisi ini. Karena memang pada merekalah masa depan tradisi dan nilai-nilai ini akan abadi.
Kita mengenal budaya gotong royong sebagai budaya bangsa yang diperkenalkan melalui buku-buku Kewarganegaraan sejak sekolah dasar. Masyarakat katu memberi gambaran bahwa budaya gotong royong telah mengendap di komunitas mereka dengan tanpa nama. Mantuda adalah nama proses menanam yang telah mengendap dan menjadi kebiasan dalam komunitas katu sejak raturan tahun lamanya.
Desa yang memiliki luas kurang lebih 5.461,3 hektar dan berpenduduk kurang lebih 5.461,3, memiliki searah panjang selama berdirinya. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1918. Tidak ada sejarah pasti tentang asal-usul orang Behoa, tetapi berdasarkan pada tumpang tindihnya antara kisah asal-usul dan pencatatan sejarah dari kelompok-kelompok lain, orang Behoa tampaknya telah berada di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Penduduk Katu adalah bagian dari komunitas Behoa, biasanya sesama behoa menyebut Katu sebagai behoa kakau yang artinya behoa hutan.
Katu resmi menjadi desa pada 1928, yang diresmikan langsung oleh Raja Kabo dan bersama seorang Belanda bernama J.W. Wesseldijk, mendirikan sekolah misionaris Protestan di desa Katu pada tahun 1929.
Letaknya yang jauh dari kota dan memiliki sejarah panjang semasa berdirinya desa tersebut membuat Desa Katu Kokoh menjaga adat istiadat dan kebudayaanya. Diantarnaya adalah Budaya "Mantuda". Mantuda secara harfiah bisa diartikan sebagai Menanam. Namun menanam dalam definisi komunitas katu sedikit berbeda dalam prosesnya dimana Mantuda dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat sekitar lahan yang akan ditanami tersebut. Olehnya mendefisikan Budaya mantuda sebagai Menanam saja rasanya menjadi memiskinkan makna Mantuda itu sendiri.
Jum"at, 7 februari 2020, kawan saya, Dhani Rama, berkesempatan mengunjungi desa katu dan mendapati langsung proses Mantuda dilangsungkan di desa katu. Tak ada satupun rumah yang berpenghuni, pintu rumah tertutup rapat, semua aktifitas terpusat di lahan milik salah seorang warga untuk melangsungkan Mantuda. Tanah seluas kurang lebih 2 hektar itu dapat terisi dengan tanaman padi ladang dan jagung hanya dalam kurun waktu setengah hari saja (mulai dari jam 08.00 pagi, hingga pukul 13.00 siang hari). Seluruh warga Desa Katu gotong royong bekerja. Tua, muda Bahkan anak-anak dengan semangat mengikuti tradisi ini. Karena memang pada merekalah masa depan tradisi dan nilai-nilai ini akan abadi.
Kita mengenal budaya gotong royong sebagai budaya bangsa yang diperkenalkan melalui buku-buku Kewarganegaraan sejak sekolah dasar. Masyarakat katu memberi gambaran bahwa budaya gotong royong telah mengendap di komunitas mereka dengan tanpa nama. Mantuda adalah nama proses menanam yang telah mengendap dan menjadi kebiasan dalam komunitas katu sejak raturan tahun lamanya.