Budaya Nusantara: Saweran - Sepenggal Interaksi Simbolik dalam Kesenian Bajidoran
Berita Warga
Mencermati interaksi simbolik antara sinden dan bajidor, cakrawala kita akan terbatas jika memaknai saweran sebatas transaksi atau menyoroti penampilan sinden hanya dari perspektif erotisme.
Alunan nada pentatonis menyambut kedatangan tamu di sebuah pesta khitanan. Idiom-idiom musik tradisional Sunda yang dihasilkan dari permainan gamelan, didaras penuh semangat oleh para nayaga. Sejumlah partisipan tampak memenuhi arena pakalangan, berebut tempat sedekat mungkin dengan bibir panggung untuk meraih jari-jemari lentik para penari.
Mereka adalah bajidor, audiens yang ikut menari atau ngibing di pakalangan; partisipan yang berasal dari tamu undangan yang membangun interaksi simbolik dengan penari melalui saweran.
Istilah bajidor merujuk pada sosok pelaku penari partisipan yang berasal dari penonton atau pengunjung dalam kesenian kliningan (gaya daerah Subang dan Karawang). Berangkat dari pengertian itu, bajidoran hadir sebagai jenis kesenian yang di dalamnya terdapat unsur bajidor, sosok pelaku termasuk perilaku estetiknya sebagai penari partisipan.
Semula, saya mengira bahwa bajidor adalah nama sebuah kesenian dari kawasan Pantai Utara Jawa Barat. Belakangan baru saya sadari bahwa istilah itu merujuk pada mereka yang gemar menari atau ngibing di pakalangan, ruang yang digunakan oleh penari partisipan untuk berjoget. Letaknya berada di antara panggung dan area tempat duduk tamu.
Jika sebelumnya dirancang lebih intimate, panggung pertunjukan bajidoran kini didesain lebih tinggi 1 hingga 1.5 meter dari pakalangan. Pemisahan ruang semacam itu sudah bergeser dari gaya pakalangan tempo dulu. Diterapkan sebagai bagian dari etika pertunjukan, guna mempertegas batasan antara area tampil para pengrawit–pesinden dengan ruang gerak bajidor sebagai penari partisipan.
Dalam pesta khitanan yang saya hadiri petang itu, salah seorang bajidor beraksi layaknya jawara Sunda. Ia memperagakan gerakan silat diselingi gestur tubuh jenaka. Tawa tamu-tamu lain pecah menyaksikan penampilannya. Saya menduga, bajidor yang menurut Deseng lekat dengan akronim banjet, tanji, dan bodor (dalam Bucky Wikagoe, Interaksi Simbolik Sinden dan Bajidor, 2008) antara lain muncul dalam ekspresi gerak yang mengandung unsur lawakan dari penari partisipan.
Penulis: Nadya Gadzali
Foto: Nadya Gadzali
Selengkapnya bisa dibaca di: https://etnis.id/saweran-sepenggal-interaksi-simbolik-dalam-kesenian-bajidoran/
Alunan nada pentatonis menyambut kedatangan tamu di sebuah pesta khitanan. Idiom-idiom musik tradisional Sunda yang dihasilkan dari permainan gamelan, didaras penuh semangat oleh para nayaga. Sejumlah partisipan tampak memenuhi arena pakalangan, berebut tempat sedekat mungkin dengan bibir panggung untuk meraih jari-jemari lentik para penari.
Mereka adalah bajidor, audiens yang ikut menari atau ngibing di pakalangan; partisipan yang berasal dari tamu undangan yang membangun interaksi simbolik dengan penari melalui saweran.
Istilah bajidor merujuk pada sosok pelaku penari partisipan yang berasal dari penonton atau pengunjung dalam kesenian kliningan (gaya daerah Subang dan Karawang). Berangkat dari pengertian itu, bajidoran hadir sebagai jenis kesenian yang di dalamnya terdapat unsur bajidor, sosok pelaku termasuk perilaku estetiknya sebagai penari partisipan.
Semula, saya mengira bahwa bajidor adalah nama sebuah kesenian dari kawasan Pantai Utara Jawa Barat. Belakangan baru saya sadari bahwa istilah itu merujuk pada mereka yang gemar menari atau ngibing di pakalangan, ruang yang digunakan oleh penari partisipan untuk berjoget. Letaknya berada di antara panggung dan area tempat duduk tamu.
Jika sebelumnya dirancang lebih intimate, panggung pertunjukan bajidoran kini didesain lebih tinggi 1 hingga 1.5 meter dari pakalangan. Pemisahan ruang semacam itu sudah bergeser dari gaya pakalangan tempo dulu. Diterapkan sebagai bagian dari etika pertunjukan, guna mempertegas batasan antara area tampil para pengrawit–pesinden dengan ruang gerak bajidor sebagai penari partisipan.
Dalam pesta khitanan yang saya hadiri petang itu, salah seorang bajidor beraksi layaknya jawara Sunda. Ia memperagakan gerakan silat diselingi gestur tubuh jenaka. Tawa tamu-tamu lain pecah menyaksikan penampilannya. Saya menduga, bajidor yang menurut Deseng lekat dengan akronim banjet, tanji, dan bodor (dalam Bucky Wikagoe, Interaksi Simbolik Sinden dan Bajidor, 2008) antara lain muncul dalam ekspresi gerak yang mengandung unsur lawakan dari penari partisipan.
Penulis: Nadya Gadzali
Foto: Nadya Gadzali
Selengkapnya bisa dibaca di: https://etnis.id/saweran-sepenggal-interaksi-simbolik-dalam-kesenian-bajidoran/