Bantu Difabel Mandiri Hingga Jadi Pengusaha
Berita Warga

Mata Ahmadi tampak berkaca-kaca saat menceritakan kisah perjalanan hidupnya. Pria berusia 38 tahun ini tak pernah menyangka bahwa dirinya bisa hidup mandiri, bahkan jadi pengusaha handycraft seperti sekarang.
Padahal, ia memiliki keterbatasan fisik. Ia lahir sebagai seorang tunadaksa. Jari-jari kedua telapak tangannya tidak tumbuh sempurna.
“Ya senang sekali. Awalnya saya berpikir dengan kondisi fisik yang kurang seperti ini mau kerja apa. Seolah nggak bisa berbuat apa-apa. Dan alhamdulillah setelah masuk ke Tiara Handicraft, ada perubahan. Saya punya pekerjaan dan bisa bantu keluarga di Jember biarpun sedikit,” jelas Ahmadi membuka kisah.
“Laboratorium” Disabilitas
Tiara Handicraft bisa dibilang “laboratorium” bagi penyandang disabilitas. Sebuah wadah untuk belajar dan latihan membuat kerajinan tangan terutama olah tekstil.
Adalah Titik Winarti, penggagas sekaligus sebagai pemilik Tiara Handicraft. Ia me-launching UMKM ini, untuk pertama kali bersama sang suami, Yudha Darmawan, di rumahnya di Jalan Sidosermo Indah 2/5, Kota Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1995 silam.
“Bisnis ini berawal dari hobi membuat pernak-pernik atau kerajinan untuk hiasan ruang tamu serta ruang makan seperti menghias toples, membuat alas gelas, dan lainnya,” jelas Ade Rizal Winanda Direktur Tiara Handicraft yang juga anak bungsu Titik Winarti.
Permintaan atas produk Tiara Handicraft bermula dari tetangga Titik, yang tertarik ketika melihat langsung di ruang tamunya. Seiring waktu permintaan pun semakin meningkat sehingga mendorong Titik untuk merekrut beberapa karyawan.
“Awalnya anak-anak muda karang taruna sekitar yang butuh pekerjaan, termasuk juga anak-anak putus sekolah,” ujar Rizal, sapaan akrabnya.
Berikutnya, Titik mencari pasar untuk produk-produk artisan. Waktu itu, dipilihlah Denpasar karena termasuk salah satu destinasi wisata favorit baik bagi wisatawan lokal maupun manca negara. Dari sana, Titik bertemu dengan seorang buyer asing yang ternyata menyukai produk-produk dari Tiara Handicraft.
Lalu, pada tahun 1997, Tiara Handicraft pun mulai beralih membuat produk olah tekstil seperti tas, dompet, tudung saji, taplak meja, sarung bantal, kursi, dan lain sebagainya hingga sekarang.
Lantas kenapa beralih produk? “Sebenarnya tantangan dari buyer asing itu karena mereka melihat kami mampu melakukannya. Kami coba, kalau nggak salah waktu prototyping selama sepekan. Waktu itu, ibu sampai belajar jahit dan alhamdulillah berhasil. Sejak itu, permintaan terus meningkat bahkan kami bisa ekspor ke Brazil, Amerika Selatan, Argentina, dan negara lainnya,” terang Rizal.
Titik Balik Pasca Krisis Moneter
Pada 1999, kondisi Indonesia yang tak stabil pasca krisis moneter, membuat para pekerja Tiara Handicraft diminta pulang oleh keluarga masing-masing. Akibatnya, waktu itu sempat mau tutup karena tidak ada Sumber Daya Manusia (SDM).
“Padahal orderan masih jalan. Ada yang bisa dikerjakan. Alat dan modal juga ada. Tapi jika SDM-nya tidak ada, kan nggak mungkin bisa jalan,” kata Rizal.
Namun, kondisi itu justru menjadi titik balik bagi Tiara Handicraft. Seorang teman disabilitas memberi saran pada Titik agar mempekerjakan penyandang disabilitas. Meski Titik sempat pesimis, tapi setelah mencoba dua disabiltas (tunadaksa serta polio), ternyata mereka mampu melakukan apa yang diajarkan.
“Bahkan mereka bisa menginspirasi kami untuk tidak melihat mereka secara fisik karena ternyata mereka punya kemampuan yang melebihi orang pada umumnya, ketika kami bisa menemukan potensi mereka,” ucap Rizal.
Sejak itulah, karyawan dari penyandang disabilitas pun terus bertambah. Mulai 2 orang, kemudian tahun 2006 mencapai 63 orang. Dan kalau ditotal dari sejak awal hingga kini, menurut Rizal, lebih dari 700-an penyandang disabilitas (dari berbagai latarbelakang) yang telah diberdayakan.
“Awalnya yang menjadi prioritas adalah remaja putus sekolah. Tapi sejak 2009 full untuk teman-teman disablitas,” pungkasnya.
Padahal, ia memiliki keterbatasan fisik. Ia lahir sebagai seorang tunadaksa. Jari-jari kedua telapak tangannya tidak tumbuh sempurna.
“Ya senang sekali. Awalnya saya berpikir dengan kondisi fisik yang kurang seperti ini mau kerja apa. Seolah nggak bisa berbuat apa-apa. Dan alhamdulillah setelah masuk ke Tiara Handicraft, ada perubahan. Saya punya pekerjaan dan bisa bantu keluarga di Jember biarpun sedikit,” jelas Ahmadi membuka kisah.
“Laboratorium” Disabilitas
Tiara Handicraft bisa dibilang “laboratorium” bagi penyandang disabilitas. Sebuah wadah untuk belajar dan latihan membuat kerajinan tangan terutama olah tekstil.
Adalah Titik Winarti, penggagas sekaligus sebagai pemilik Tiara Handicraft. Ia me-launching UMKM ini, untuk pertama kali bersama sang suami, Yudha Darmawan, di rumahnya di Jalan Sidosermo Indah 2/5, Kota Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1995 silam.
“Bisnis ini berawal dari hobi membuat pernak-pernik atau kerajinan untuk hiasan ruang tamu serta ruang makan seperti menghias toples, membuat alas gelas, dan lainnya,” jelas Ade Rizal Winanda Direktur Tiara Handicraft yang juga anak bungsu Titik Winarti.
Permintaan atas produk Tiara Handicraft bermula dari tetangga Titik, yang tertarik ketika melihat langsung di ruang tamunya. Seiring waktu permintaan pun semakin meningkat sehingga mendorong Titik untuk merekrut beberapa karyawan.
“Awalnya anak-anak muda karang taruna sekitar yang butuh pekerjaan, termasuk juga anak-anak putus sekolah,” ujar Rizal, sapaan akrabnya.
Berikutnya, Titik mencari pasar untuk produk-produk artisan. Waktu itu, dipilihlah Denpasar karena termasuk salah satu destinasi wisata favorit baik bagi wisatawan lokal maupun manca negara. Dari sana, Titik bertemu dengan seorang buyer asing yang ternyata menyukai produk-produk dari Tiara Handicraft.
Lalu, pada tahun 1997, Tiara Handicraft pun mulai beralih membuat produk olah tekstil seperti tas, dompet, tudung saji, taplak meja, sarung bantal, kursi, dan lain sebagainya hingga sekarang.
Lantas kenapa beralih produk? “Sebenarnya tantangan dari buyer asing itu karena mereka melihat kami mampu melakukannya. Kami coba, kalau nggak salah waktu prototyping selama sepekan. Waktu itu, ibu sampai belajar jahit dan alhamdulillah berhasil. Sejak itu, permintaan terus meningkat bahkan kami bisa ekspor ke Brazil, Amerika Selatan, Argentina, dan negara lainnya,” terang Rizal.
Titik Balik Pasca Krisis Moneter
Pada 1999, kondisi Indonesia yang tak stabil pasca krisis moneter, membuat para pekerja Tiara Handicraft diminta pulang oleh keluarga masing-masing. Akibatnya, waktu itu sempat mau tutup karena tidak ada Sumber Daya Manusia (SDM).
“Padahal orderan masih jalan. Ada yang bisa dikerjakan. Alat dan modal juga ada. Tapi jika SDM-nya tidak ada, kan nggak mungkin bisa jalan,” kata Rizal.
Namun, kondisi itu justru menjadi titik balik bagi Tiara Handicraft. Seorang teman disabilitas memberi saran pada Titik agar mempekerjakan penyandang disabilitas. Meski Titik sempat pesimis, tapi setelah mencoba dua disabiltas (tunadaksa serta polio), ternyata mereka mampu melakukan apa yang diajarkan.
“Bahkan mereka bisa menginspirasi kami untuk tidak melihat mereka secara fisik karena ternyata mereka punya kemampuan yang melebihi orang pada umumnya, ketika kami bisa menemukan potensi mereka,” ucap Rizal.
Sejak itulah, karyawan dari penyandang disabilitas pun terus bertambah. Mulai 2 orang, kemudian tahun 2006 mencapai 63 orang. Dan kalau ditotal dari sejak awal hingga kini, menurut Rizal, lebih dari 700-an penyandang disabilitas (dari berbagai latarbelakang) yang telah diberdayakan.
“Awalnya yang menjadi prioritas adalah remaja putus sekolah. Tapi sejak 2009 full untuk teman-teman disablitas,” pungkasnya.